Kamis, 08 Maret 2018

ILMU KALAM



A.    SEJARAH TIMBULNYA PERSOALAN-PERSOALAN TEOLOGI DALAM ISLAM

Dalam Islam sebagai agama, persoalan yang pertama-tama timbul adalah dalam bidang politik bukan dalam bidang teologi. Tetapi persoalan politik ini segera meningkat menjadi persoalan teologi. Ketika Nabi Muhammad SAW mulai menyiarkan ajaran-ajaran Islam yang beliau terima dari Allah SWT di Mekkah, kota ini mempunyai sistem kemasyarakatan yang terletak di bawah pimpinan suku bangsa Quraisy.
Di pertengahan kedua dari abad keenam Masehi, jalan dagang Timur-Barat berpindah dari Teluk Persia-Euphrat di Utara dan Laut Merah-Perlembahan Neil di Selatan, ke Yaman-Hijaz-Syria.
Dengan pindahnya perjalanan dagang Timur-Barat ke Semenanjung Arabia, Mekkah yang terletak di tengah-tengah garis perjalanan dagang itu, menjadi kota dagang. Pedagag-pedagangnya pergi ke Selatan membeli barang-barang yang datang dari Timur, yang kemudian mereka bawah ke Utara untuk dijual di Syria.[1]
Ketika Nabi Muhammad SAW wafat tahun 632 M daerah kekuasaan Madinah bukan hanya terbatas, tetapi boleh dikatan meliputi seluruh Semenanjung Arabia.[2]
Islam sendiri, di samping merupakan sistem agama telah pula merupakan sistem politik, dan Nabi Muhammad di samping Rasul telah pula menjadi seorang ahli Negara.[3]
Persoalan-persoalan yang terjadi dalam lapangan politik sebagai digambarkan di atas inilah yang akhirnya membawa kepada timbulnya persoalan-persoalan teologi. Timbullah persoalan siapa yang kafir dan siapa yang bukan kafir dalam arti siapa yang telah keluar dari Islam dan siapa yang masih tetap dalam Islam.
Khawarij memandang bahwa Ali, Mu’awiyah, Amr Ibn al-As, Abu Musa al-Asy’ari dan lain-lain yang menerima arbitrase adalah kafir.[4]
Kaum khawarij pecah menjadi beberapa sekte. Konsep kafir turut pula mengalami perubahan. Yang dipandang kafir bukan lagi hanya orang yang tidak menentukan hukum dengan al-Qur’an, tetapi orang yang berbuat dosa besar, yaitu murtakib al-kaba’ir atau capital sinners, juga dipandang kafir.
Persoalan ini menimbulkan tiga aliran teologi dalam Islam. Pertama aliran Khawarij yang mengatakan bahwa orang berdosa besar adalah kafir, dalam arti keluar dari Islam atau tegasnya murtad dan oleh karena itu ia wajib dibunuh.
Aliran kedua ialah aliran Murji’ah yang menegaskan bahwa orang yang berbuat dosa besar tetap masih mukmin dan bukan kafir. Kaum Mu’tazilah sebagai aliran ketiga tidak menerima pendapat-pendapat di atas. Dalam pada itu timbul pula dalam Islam dua aliran dalam teologi yang terkenal dengan nama al-qadariah dan al-jabariah.
Dengan demikian aliran-aliran teologi penting yang timbul dalam Islam ialah aliran Khawarij, Murjiah, Mu’tazilah, Asy’ariah dan Maturidiah. Aliran-aliran Khawarij, Murjiah dan Mu’tazilah tak mempunyai wujud lagi kecuali dalam sejarah. Yang masih ada sampai sekarang ialah aliran-aliran Asy’ariah dan Maturidiah yang disebut Ahli Sunnah wa al- Jama’ah.

B.     KAUM KHAWARIJ
Seperti telah dikemukakan sebelumnya, kaum Khawarij terdiri atas pengikut-pengikut Ali Ibn Talib yang meninggalkan barisannya. Karena tidak setuju dengan sikap Ali Ibn Talib dalam menerima arbitrase sebagai jalan untuk menyelesaikan persengketaan tentang Khilafah dengan Mu’awiyah Ibn Abi Sufyan. Namun adalah pula yang mengatakan pemberian nama khawarij itu di dasarkan atas ayat 100 dari Surat Al-Nisa’,yang dalamnya disebutkan “ Keluar dari rumah lari kepada Allah dan Rasulnya”. Selanjutnya mereka menyebut diri mereka Syurah, yang berasal dari kata Yasyri ( menjual ), sebagaimana disebutkan dalam ayat 207 dari Surat Al- Baqarah “ ada manusia yang menjual dirinya untuk memperoleh keridhaan Allah”. Maksudnya, mereka adalah orang yang sedia mengorbankan diri untuk Allah. Namun nama lain yang diberikan untuk mereka ialah Haruriah, dari kata Harura.[5]
Desa yang terletak didekat kota Kufah, di Irak. Di tempat inilah mereka, yang pada waktu itu berjumlah 12.000 orang, berkumpul setelah memisahkan diri dari Ali. Disini mereka memilih Abdullah Ibn Abi Wahab Al-Rasidi menjadi Imam mereka sebagai pengganti Ali Ibn Abi Talib. Seorang Khariji bernama Abd al-Rahman Ibn Muljam dapat membunuh Ali.
Dalam lapangan ketatanegaraan mereka memang mempunyai paham yang berlawanan dengan paham yang ada di waktu itu. Mereka lebih besifat demokratis, karena menurut mereka khalifah atau imam harus dipilih secara bebas oleh seluruh umat Islam. Tetapi kalau ia menyeleweng dari ajaran Islam, ia wajib dibunuh.[6]
Khalifah Abu Bakar dan Umar Ibn al-Khattab dapat mereka terima. Keduanya tidak menyeleweng dari ajaran Islam. Tetapi Usman dan Ali mereka anggap telah menyeleweng dari ajaran Islam. Sejak itulah Usman dan Ali bagi mereka telah menjadi kafir, demikian pula halnya dengan Mu;awiyah, Amr Ibn al-As, Abu Musa al-Asy’ari serta semua orang yang mereka anggap telah melanggar ajaran-ajaran Islam.[7]
Kaum Khawarij terpecah belah menjadi golongan-golongan kecil serta dapat pula dimengerti tentang sikap mereka yang terus menerus mengadakan perlawanan terhadap penguasa-penguasa Islam dan Umat Islam yang ada di zaman mereka.

1.      Al-Muhakkimah
Golongan Khawarij asli dan terdiri dari pengikut-pengikut Ali, disebut golongan al-Muhakkimah. Bagi mereka, Ali, Mu’awiyah, kedua pengantara Amr Ibn al-As dan Abu Musa al-Asy’ari dan semua orang yang menyetujui arbitrase bersalah dan menjadi kafir. Hukum kafir ini mereka luaskan artinya sehingga termasuk kedalamnya tiap orang yang bebuat dosa besar.

2.      Al-Azariqah
Sesudah golongan al-Muhakkimah hancur adalah golongan Azariqah. Daerah kekuasaan mereka terletak di perbatasan Irak dengan Iran. Nama ini di ambil dari Nafi’ Ibn al-Azraq.[8] Khalifah pertama yang mereka pilih ialah Nafi’ sendiri dan kepadanya mereka beri gelar Amir al-Mu’minin. Nafi’ mati dalam pertempuran di Irak pada tahun 686 M.
Subsekte ini sikapnya lebih radikal dari al-Muhakkimah. Mereka tidak lagi memakai term kafir, tetapi term musyrik.[9] Dan didalam Islam syrik merupakan dosa besar lebih besar dari kufr.
Selanjutnya yang dipandang musyrik ialah semua orang Islam yang tak sepaham dengan mereka.[10]

3.      Al-Najdat
Najdah Ibn Amir al-Hanafi dari Yamamah dengan pengikut-pengikutnya pada mulanya ingin menggabungkan diri dengan golongan al- Azariqah. Sebagian dari pengikut-pengikut Nafi’ Ibn al-Azraq, diantaranya Abu Fudaik, Rasyid al-Tawil dan Atiah al-Hanafi, tidak dapat menyetujui paham bahwa orang Azraqi yang tak mau berhijrah ke dalam lingkungan al-Azariqah adalah musyrik. Mereka tak setuju pendapat tentang boleh dibunuh anak istri orang-orang Islam yang tak sepaham dengan mereka.[11] Najdah berlainan dengan kedua golongan di atas, ia berpendapat bahwa yang diwajibkan bagi tiap muslim ialah mengetahui Allah dan Rasul-rasulnya, mengetahui haram membunuh orang Islam dan percaya pada seluruh apa yang  diwahyukan Allah kepada Rasul-nya. Orang yang tidak mengetahui ini tak dapat di ampuni.[12]

4.      Al-‘Ajaridah
Mereka adalah pengikut dari Abd al-Karim Ibn ‘Ajrad yang menurut al-Syahrastani merupakan salah satu teman dari ‘Atiah al-Hanafi.[13] Kaum Ajaridah ini mempunyai paham puritanisme. Surat Yusuf dalam al-Qur’an membawa cerita cinta dan al-Qur’an sebagai kitab suci, kata mereka, tidak mungkin mengandung cerita cinta. Oleh karena itu mereka tidak mengakui Surat Yusuf sebagai bagian dari al-Qur’an.[14]
Ajaridah ini terpecah menjadi golongan-golongan kecil. Di antara mereka, yaitu golongan al-Maimuniah, menganut paham qadariah. Golongan al-Hamziah juga mempunyai paham yang sama. Golongan al-Syu’aibiah dan al-Hazimiah menganut paham sebaliknya.[15]

5.      Al-Sufriah
Pemimpin golongan ini ialah Ziad Ibn al-Asfar. Hal-hal yang membuat mereka kurang ekstrim dari yang lain adalah pendapat-pendapat berikut :
a.       Orang sufriah yang tidak berhijrah tidak dipandang kafir.
b.      Mereka tidak berpendapat bahwa anak-anak kaum musyrik boleh dibunuh.[16]
c.       Tidak semua mereka berpendapat bahwa orang yang berbuat dosa besar menjadi musyrik.
d.      Daerah golongan Islam yang tak sepaham dengan mereka bukan dar harb yaitu daerah yang harus diperangi, anak-anak dan perempuan tak boleh dijadikan tawanan.[17]
e.       Kurf dibagi dua : kurf bin inkar al-ni’mah dan kurf bi inkar al-rububiah.

6.      Al-Ibadiah
Golongan ini merupakan golongan yang paling moderat dari seluruh golongan Khawarij. Namanya diambil dari Abdullah Ibn Ibad, yang pada tahun 686 M, memisahkan diri dari golongan al-Azariqah. Paham mereka dapat dilihat dari ajaran-ajaran berikut :
a.       Orang Islam yang tak sependapat dengan mereka bukanlah mukmin dan bukanlah musyrik, tetapi kafir.
b.      Daerah orang Islam yang tak sepaham dengan mereka, kecuali camp pemerintah merupakan dar tawhid, daerah orang yang meng-Esa-kan Tuhan, dan tak boleh diperangi.
c.       Orang Islam yang berbuat dosa besar adalah muwahhid.
d.      Yang boleh dirampas dalam perang hanyalah kuda dan senjata.

C.    KAUM MURJI’AH
Tidak memihak “Moderat ( Lunak ) dan Ekstrim ( Keras )”. Kalau kaum Khawarij menjatuhkan hukum kafir bagi orang yang berbuat dosa besar, kaum Murji’ah menjatuhkan hukum mukmin bagi orang yang serupa itu.[18]
Arja’a mengandung arti memberi pengharapan. Kaum Murji’ah pecah menjadi beberapa golongan kecil. Kaum Murji’ah menekankan pemikiran yaitu siapa yang masih mukmin dan tidak keluar dari Islam. Mereka membahas soal jabariah atau fatalism dan soal qadariah atau free will.
Kaum Murji’ah dibagai dalam dua golongan besar, yaitu :
a.       Golongan moderat berpendapat bahwa orang yang berdosa besar bukanlah kafir dan tidak kekal dalam neraka, tetapi akan dihukum dalam neraka sesuai dengan besarnya dosa yang dilakukannya.[19]
b.      Golongan Ekstrim berpendapat orang Islam yang percaya pada Tuhan dan kemudian menyatakan kekufuran secara lisan tidaklah menjadi kafir, karena iman dan kufr tempatnya hanyalah didalam hati, bukan dalam bagian lain dari tubuh manusia.[20]

D.    QADARIAH DAN JABARIAH
Qadariah berpendapat bahwa manusia mempunyai kemerdekaan dan kebebasan dalam menentukan perjalanan hidupnya. Dalam istilah inggrisnya paham ini dikenal dengan nama free will dan free act.
Kaum Jabariah berpendapat sebaliknya. Manusia tidak mempunyai kemerdekaan dalam menentukan kehendak mutlak Tuhan. Nama Jabariah berasal dari kata jabara yang berarti memaksa. Dalam istilah inggrisnya paham ini dikenal dengan nama fatalism atau predestination.
Paham Qadariah ditimbulkan buat pertama kali oleh seorang bernama Ma’bad al-Juhani. Menurut Ibn Nabatah, Ma’bad al-Juhani dan temannya Ghailan al-Dimasyqi mengambil paham ini dari seorang Kristen yang termasuk Islam di Irak.[21]
Selain dari penganjur paham qadariah, Ghailan juga merupakan pemuka Murji’ah dari golongan al-Salihiah.[22] Aliran yang sebaliknya yaitu paham Jabariah, ditonjolkan buat pertama kali dalam sejarah teologi Islam oleh al-Ja’d Ibn Dirham. Tetapi yang menyiarkannya adalah Jahm Ibn Safwan dari Khurasan.
Paham yang dibawah Jahm adalah lawan ekstrim dari paham yang dianjurkan Ma’bad dan Ghailan. Manusia, menurut Jahm, tidak mempunyai kekuasaan untuk berbuat apa-apa.

E.     KAUM MU’TAZILAH
Kaum Mu’tazilah adalah golongan yang membawa persoalan-persoalan teologi yang lebih mendalam dan bersifat filosofis dari pada persoalan-persoalan yang dibawah kaum Khawarij dan Murji’ah. Mereka banyak memakai akal sehingga mereka mendapat nama “kaum rasionalis Islam”.
Berbagai analisa yang dimajukan tentang pemberian nama Mu’tazilah kepada mereka. Uraian yang biasa disebut buku-buku Ilm al-Kalam berpusat pada peristiwa yang terjadi antara Wasil Ibn Ata serta temannya Amr Ibn Ubaid dan Hasan al-Basri di Basrah.
Menurut al-Baghdadi, Wasil dan temannya Amr Ibn Ubaid Ibn Bab diusir oleh Hasan al-Basri dari majlisnya karena adanya pertikaian antara mereka mengenai persoalan qadar dan orang yang berdosa besar.
Orang yang pertama membina aliran Mu’tazilah adalah Wasil Ibn Ata’. Ajaran pertama yang dibawah Wasil tentulah paham al-Manzilah bain al-manzilatain. Ajarannya kedua adalah paham qadariah yang dianjurkan oleh Ma’bad dan Ghailan. Ajaran Wasil yang ketiga mengambil bentuk peniadaan sifat-sifat Tuhan dalam arti bahwa apa-apa yang disebut sifat Tuhan sebenarnya bukanlah sifat yang mempunyai wujud tersendiri di luar zat.[23]
Abu al-Huzail menjadi pemimpin kedua dari cabang Basrah setelah Wasil dan banyak berhubungan dengan filsafat Yunani.  Abu al-Huzail berpendapat bahwa manusia dengan mempergunakan akalnya, dapat wajib mengetahui Tuhan.
Seorang pemimpin Mu’tazilah lain ialah Mu’ammar Ibn Abbad yang hidup semasa dengan Abu al-Huzail dan al-Nazzam. Menurut pendapatnya, yang diciptakan Tuhan hanyalah benda-benda materi adapun al-a’rad atau accidents adalah kreasi benda-benda materi itu sendiri.[24]
Mengenai sifat Tuhan, al-Jubba’i berpendapat bahwa Tuhan mengetahui melalui esensi-Nya, demikian pula berkuasa dan hidup melalui esensi-Nya.
Salah seorang pemuka Mu’tazilah Bagdad adalah Abu Musa al-Murdar (w.226 H ). Ia berpendapat bahwa perbuatan-perbuatan manusia bukanlah diciptakan Tuhan tetapi diwujudkan oleh manusia itu sendiri.[25]
Hisyam Ibn Amr al-Fuwati, pemimpin lain dari cabang Bagdad, mengatakan bahwa surga dan neraka belum mempunyai wujud sekarang karena masa memasuki surga atau neraka belum tiba.[26]
Pemimpin lain ialah Abu al-Husain al-Khayyat ( w.300 H ) dan Sumamah Ibn Asyras ( w. 213 H ). Berpendapat bahwa daya berbuat bagi manusia terdapat dalam tubuh manusia itu sendiri, yaitu tubuh yang baik dan sehat lagi tidak mempunyai cacat.[27]
Al-Khayyat, mengatakan bahwa kehendak bukanlah sifat yang melekat pada zat Tuhan dan pula Tuhan berkehendak bukan melalui zat-Nya.
Urutan menurut pentingnya kedudukan tiap dasar sebagai berikut : al-Tawhid, al-Adl, al-Wa’d, al-Wa’id, al-Manzilah bain al-Manzilatain dan al-Amr bi al-Ma’ruf wa al-Nahy’an al-munkar.
Selanjutnya kaum Mu’tazilah membagi sifat-sifat Tuhan ke dalam 2 golongan :
1.      Sifat-sifat yang merupakan esensi Tuhan dan disebut sifat zatiah.
2.      Sifat-sifat yang merupakan perbuatan-perbuatan Tuhan yang disebut sifat fi’liah.

Al-Nasysyar, guru besar falsafat Islam di Universitas Alexandria umpamanya, menulis tentang al-Nazzam. Ia berpendapat bahwa al-Nazzam adalah orang lurus serta benar ( sadiq ) yang banyak usahanya dalam membela Islam.[28]
Ahmad Mahmud Subhi, dosen falsafat Islam di Universitas Alexandria, menerangkan bahwa paham yang mengatakan al-I’tizal sama artinya dengan perpecahan ( insyiqaq = schism ) timbul sesudah abad ke-4 H.[29]
Ahmad Amin, berpendapat bahwa Kaum Mu’tazilah golongan Islam yang pertama memakai senjata yang dipergunakan lawan-lawan Islam dari golongan Yahudi, Kristen, Majusi dan Materialist dalam menangkis serangan-serangan terhadap Islam di permulaan kerajaan Bani Abbas.[30]
Syekh Muhammad Yusuf Musa ( dari kalangan alim ulama ), dalam urainnya mengenai kaum Mu’tazilah dan kaum Asy’ariah, mengeluarkan pendapat yang mengandung nada setuju dengan ajaran-ajaran Mu’tazilah tersebut, terutama ketika membicarakan paham qadariah Mu’tazilah dan paham kasb kaum Asy’ariah.[31]
Syekh Muhammad Ahmad Abu Zahrah, menjelaskan pertentang-pertentangan teologi, yang terdapat dalam Islam tidaklah mengenai inti dan dasar dari ajaran-ajaran Islam. Yang dimaksudnya ialah bahwa pertentangan – pertentangan itu tidak berkisar sekitar usul atau dasar-dasar iman dalam Islam yang membuat seseorang kafir kalau tidak lagi percaya kepada dasar-dasar itu.

F.     AHLI SUNNAH DAN JAMA’AH
Bertentang dengan paham qadariah yang dianut kaum Mu’tazilah dan yang menganjurkan kemerdekaan dan kebebasan manusia dalam berpikir, kemauan dan perbuatan, pemuka-pemuka Mu’tazilah memakai kekerasan dalam usaha menyiarkan ajaran-ajaran mereka. Ajaran yang ditonjolkan ialah paham bahwa al-Qur’an tidak bersifat qadim, tetapi baharu dan diciptakan. Menduakan Tuhan ialah syirik dan syirik adalah dosa yang terbesar dan tak dapat diampuni oleh Tuhan.
Al-Ma’mun orang yang mempunyai paham syirik tak dapat dipakai untuk menempati posisi penting dalam pemerintahan. Ia mengirim intruksi kepada para Gubernur untuk mengadakan ujian terhadap pemuka-pemuka dalam pemerintahan dan pemuka-pemuka yang berpengaruh dalam masyarakat. Dengan demikian timbullah dalam sejarah Islam apa yang disebut mihnah atau inquisition.
Contoh dari surat yang mengandung instruksi itu terdapat dalam Tarikh al-Tabari.[32] Diantara yang diuji Ahmad Ibn Hanbal, dialog yang terjadi antara Ishaq Ibn Ibrahim, Gubernur Irak dengan Ahmad Ibn Hanbal, sebagai berikut :
Ishaq               : apa pendaptmu tentang al-Qur’an ?
Ibn Hanbal      : Sabda Tuhan.
Ishaq               : apakah ia diciptakan ?
Ibn Hanbal      : sabda Tuhan. Saya tak dapat mengatakan lebih
                          Dari itu.
Ishaq               : apa arti dari ayat : Maha Mendengar ( Sami’ ) dan
                          Maha Melihat ( Basir ) ?
                          ( Ishaq ingin menguji Ibn Hanbal tentang paham
                           Anthropomorphisme ).
Ibn Hanbal      : Tuhan mensifatkan diri-Nya (dengan kata-kata itu)
Ishaq               : Apa artinya ?
Ibn Hanbal      : Tidak tahu. Tuhan adalah sebagaimana ia sifatkan
                          Diri-Nya.[33]

Bagaimanapun, yang dimaksud dengan Ahli Sunnah dan Jama’ah di dalam lapangan teologi Islam adalah kaum Asy’ariah dan kaum Maturidi.
Menurut Hammudah Ghurabah ajaran-ajaran seperti yang diperoleh al-Asy’ari dari al-Jubba’i, menimbulkan persoalan-persoalan yang tak mendapat penyelesaian yang memuaskan.[34]
Salah satu pengikut al-Asy’ari yang besar pula pengaruhnya ialah Abd al-Malik al-Juwaini yang juga terkenal dengan nama Imam al-Haramain. Ia lahir di Khurasan tahun 419 H, dan wafat di tahun 478 H.
Abu Hamid al-Ghazali (1058-1111) adalah pengikut al-Asy’ari yang terpenting dan terbesar pengaruhnya pada umat Islam yang beraliran ahli Sunnah dan Jama’ah.
Atas pengaruh al-Ghazali, ajaran al-Asy’ari yang serupa inilah yang meluas di kalangan Islam ahli Sunnah dan Jama’ah.
Pemburuan terhadap pemuka-pemuka Asy’ari ini berhenti dengan wafatnya Tughril di tahun 1063. Penggantinya Alp Arselan ( 1063 – 1092 ) mengangkat Nizam al-Mulk sebagai pengganti al-Kunduri.
Perdana menteri baru itu adalah penganut aliran Asy’ariah, dan atas usahanya pula aliran ini cepat berkembang, sedangkan aliran Mu’tazilah mulai mundur kembali. Ia mendirikan sekolah-sekolah yang diberi nama al-Nizamiah, diantaranya di Bagdad dimana al-Ghazali pernah mengajar.
Di Mesir aliran itu dibawa oleh Salah al-Din al-Aiyubi, sebagai pengganti dari aliran Syiah yang dibawa oleh kerajaan Fatimi yang berkuasa di Mesir dari tahun 969 M sampai 1171 M.
Aliran Maturidiah ( Abu Mansur Muhammad Ibn Muhammad Ibn Mahmud al-Maturidi ) lahir di Samarkand pada pertengahan kedua dari abad ke-9 M dan meninggal di tahun 944 M. Sistem pemikiran teologi yang ditimbulkan Abu Mansur termasuk dalam golongan teologi Ahli Sunnah dan dikenal dengan nama al-Maturidiah.
Literature mengenai ajaran-ajaran Abu Mansur dan aliran Maturidiah tidak sebanyak literature mengenai ajaran-ajaran Asy’ariah.
Karangan-karangan al-Maturidi sendiri masih belum dicetak dan tetap dalam bentuk MSS ( Makhtutat ).
Diantara MSS itu ialah Kitab al-Tawhid dan Kitab Ta’wil al-Qur’an. Karangan-karangan yang disusun oleh al-Maturidi yaitu Risalah Fi al-Aqa’id dan Syarh al-Fiqh al-Akbar.
Dalam soal perbuatan-perbuatan manusia, al-Maturidi sependapat dengan golongan Mu’tazilah, bahwa manusialah sebenarnya yang mewujudkan perbuatan-perbuatannya.[35]
Sama dengan al-Asy’ari, al-Maturidi menolak ajaran Mu’tazilah tentang al-salah wa al-aslah, tetapi di samping itu al-Maturidi berpendapat bahwa Tuhan mempunyai kewajiban-kewajiban tertentu.[36]
Mengenai soal dosa besar al-Maturidi sepaham dengan al-Asy’ari bahwa orang yang berdosa besar masih tetap mukmin, dan soal dosa besarnya akan ditentukan Tuhan kelak di akhirat. Tetapi soal al-Wa’d wa al-Wa’id al-Maturidi sepaham dengan Mu’tazilah.
Salah satu pengikut penting dari al-Maturidi ialah Abu al-Yusr Muhammad al-Bazdawi (421-493 H). nenek al-Bazdawi adalah murid dari al-Maturidi. Murid dari al-Bazdawi ialah Najm al-Din Muhammad al-Nasafi (460-537 H ), pengarang buku al-Aqa idal-Nasafiah.
Al-Baqillani dan al-Juwaini, al-Bazdawi tidak pula selamanya sepaham dengan al-Maturidi.
Aliran Maturidiah, sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya adalah teologi yang banyak dianut oleh umat Islam yang memakai mazhab Hanafi.


[1] Keterangan lebih lanjut mengenai jalan dagang Timur-Barat ini dan pengaruhnya terhadap Mekkah, dapat dibaca dalam Philip K. Hitti, History of the Arabs, London, Mac Millan & Co. Ltd., 1964, Bab IV-VII, passim, Bernard Lewis, The Arabs in History, New York, Harper & Row, 1960, Bab I, Passim dan W. M. Watt, Mahomet a La Mecque, terjemahan F. Douryeil, Paris, Payot, 1958, Hlm. 21-43.
[2] Muhammad Prophet and Statesman, Oxford University Press, 1961, Hlm. 222/3.
[3] Lihat Shorter Encylopedia of Islam, Leiden, E. J. Brill, 1961, Hlm. 534.
[4] Al-Maidah (5) – 44. Siapa yang tidak menentukan hukum dengan apa yang telah diturunkan Allah, adalah kafir.
[5] Disebut juga Haraura menurut ejaan yang diberikan Yaqut, lihat : Al-Asy’ari, Maqalat al-Islamiyin (selanjutnya diesbut Maqalat), al-Nahdah al-Misriyah, Kairo, 1950, jilid I, hlm. 156, footnote I.
[6] Lihat Muhammad Ahmad Abu Zahrah, Al-Mazahib al-Islamiah ( Selanjutnya disebut  al-Mazahib), Maktabah al-Adab, Kairo, tat, Hlm. 105-106.
[7] Lebih lanjut mengenai pendapat Khawarij tentang Khalifah yang empat, lihat Maqalat, I/189.
[8] Al-Farq, 85.
[9]  Lihat Ibid, 83.
[10] Ibid.
[11] Al-Farq, 87.
[12] Al-Milal, I/23 dan Maqalat, I/163.
[13] Al-Milal, I/124, Lihat juga al-Farq,94.
[14] Al-Milal, I, 128.
[15] Al-Farq, 94.
[16] Ibid, 137.
[17] Al-Mazahib, 125.
[18] Kata mu’min sebagai dipakai pada waktu itu kelihatannya masih identik dengan kata muslim. Belum terdapat perbedaan arti seperti yang terdapat di zaman sesudahnya.
[19] Al-Milal, I/146.
[20] Maqalat, I/198.
[21] Lihat Fajr al-Islam, 255.
[22] Lihat al-Milal, I/146.
[23] Zat disini dipakai bukan dalam arti yang dikenal di dalam bahasa Indonesia yaitu benda materi, tetapi dalam arti aslinya yang dipakai di dalam bahasa Arab, yaitu esensi.
[24] Lihat al-Milal, I/66.
[25] Ibid.
[26] Ibid, 73.
[27] Ibid, 71.
[28] Ibid, I/583.
[29] Fi’Ilm al-Kaalam, 77.
[30] Fajr al-Islam, 299-300.
[31] Al-Qur’an wa al-Falsafah, Kairo, 1966, Hlm. 96 dst.
[32] Jilid VIII, hlm. 631-644.
[33] Terjemahan bebas dari teks dalam Ibid, VIII/639.
[34] Al-Asy’ari, Kairo, 1953, Hlm. 65.
[35] Ibid, 11.
[36] Infra, 122. Dst.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar