A. SEJARAH TIMBULNYA
PERSOALAN-PERSOALAN TEOLOGI DALAM ISLAM
Dalam
Islam sebagai agama, persoalan yang pertama-tama timbul adalah dalam bidang
politik bukan dalam bidang teologi. Tetapi persoalan politik ini segera
meningkat menjadi persoalan teologi. Ketika Nabi Muhammad SAW mulai menyiarkan
ajaran-ajaran Islam yang beliau terima dari Allah SWT di Mekkah, kota ini
mempunyai sistem kemasyarakatan yang terletak di bawah pimpinan suku bangsa
Quraisy.
Di
pertengahan kedua dari abad keenam Masehi, jalan dagang Timur-Barat berpindah
dari Teluk Persia-Euphrat di Utara dan Laut Merah-Perlembahan Neil di Selatan,
ke Yaman-Hijaz-Syria.
Dengan
pindahnya perjalanan dagang Timur-Barat ke Semenanjung Arabia, Mekkah yang
terletak di tengah-tengah garis perjalanan dagang itu, menjadi kota dagang.
Pedagag-pedagangnya pergi ke Selatan membeli barang-barang yang datang dari
Timur, yang kemudian mereka bawah ke Utara untuk dijual di Syria.[1]
Ketika
Nabi Muhammad SAW wafat tahun 632 M daerah kekuasaan Madinah bukan hanya
terbatas, tetapi boleh dikatan meliputi seluruh Semenanjung Arabia.[2]
Islam
sendiri, di samping merupakan sistem agama telah pula merupakan sistem politik,
dan Nabi Muhammad di samping Rasul telah pula menjadi seorang ahli Negara.[3]
Persoalan-persoalan
yang terjadi dalam lapangan politik sebagai digambarkan di atas inilah yang
akhirnya membawa kepada timbulnya persoalan-persoalan teologi. Timbullah
persoalan siapa yang kafir dan siapa yang bukan kafir dalam arti siapa yang
telah keluar dari Islam dan siapa yang masih tetap dalam Islam.
Khawarij
memandang bahwa Ali, Mu’awiyah, Amr Ibn al-As, Abu Musa al-Asy’ari dan
lain-lain yang menerima arbitrase adalah kafir.[4]
Kaum
khawarij pecah menjadi beberapa sekte. Konsep kafir turut pula mengalami perubahan.
Yang dipandang kafir bukan lagi hanya orang yang tidak menentukan hukum dengan
al-Qur’an, tetapi orang yang berbuat dosa besar, yaitu murtakib al-kaba’ir atau
capital sinners, juga dipandang kafir.
Persoalan
ini menimbulkan tiga aliran teologi dalam Islam. Pertama aliran Khawarij yang
mengatakan bahwa orang berdosa besar adalah kafir, dalam arti keluar dari Islam
atau tegasnya murtad dan oleh karena itu ia wajib dibunuh.
Aliran
kedua ialah aliran Murji’ah yang menegaskan bahwa orang yang berbuat dosa besar
tetap masih mukmin dan bukan kafir. Kaum Mu’tazilah sebagai aliran ketiga tidak
menerima pendapat-pendapat di atas. Dalam pada itu timbul pula dalam Islam dua
aliran dalam teologi yang terkenal dengan nama al-qadariah dan al-jabariah.
Dengan
demikian aliran-aliran teologi penting yang timbul dalam Islam ialah aliran
Khawarij, Murjiah, Mu’tazilah, Asy’ariah dan Maturidiah. Aliran-aliran
Khawarij, Murjiah dan Mu’tazilah tak mempunyai wujud lagi kecuali dalam
sejarah. Yang masih ada sampai sekarang ialah aliran-aliran Asy’ariah dan
Maturidiah yang disebut Ahli Sunnah wa al- Jama’ah.
B. KAUM KHAWARIJ
Seperti
telah dikemukakan sebelumnya, kaum Khawarij terdiri atas pengikut-pengikut Ali
Ibn Talib yang meninggalkan barisannya. Karena tidak setuju dengan sikap Ali
Ibn Talib dalam menerima arbitrase sebagai jalan untuk menyelesaikan
persengketaan tentang Khilafah dengan Mu’awiyah Ibn Abi Sufyan. Namun adalah
pula yang mengatakan pemberian nama khawarij itu di dasarkan atas ayat 100 dari
Surat Al-Nisa’,yang dalamnya disebutkan “ Keluar dari rumah lari kepada Allah
dan Rasulnya”. Selanjutnya mereka menyebut diri mereka Syurah, yang berasal
dari kata Yasyri ( menjual ), sebagaimana disebutkan dalam ayat 207 dari Surat
Al- Baqarah “ ada manusia yang menjual dirinya untuk memperoleh keridhaan
Allah”. Maksudnya, mereka adalah orang yang sedia mengorbankan diri untuk
Allah. Namun nama lain yang diberikan untuk mereka ialah Haruriah, dari kata
Harura.[5]
Desa
yang terletak didekat kota Kufah, di Irak. Di tempat inilah mereka, yang pada
waktu itu berjumlah 12.000 orang, berkumpul setelah memisahkan diri dari Ali.
Disini mereka memilih Abdullah Ibn Abi Wahab Al-Rasidi menjadi Imam mereka
sebagai pengganti Ali Ibn Abi Talib. Seorang Khariji bernama Abd al-Rahman Ibn
Muljam dapat membunuh Ali.
Dalam
lapangan ketatanegaraan mereka memang mempunyai paham yang berlawanan dengan
paham yang ada di waktu itu. Mereka lebih besifat demokratis, karena menurut
mereka khalifah atau imam harus dipilih secara bebas oleh seluruh umat Islam.
Tetapi kalau ia menyeleweng dari ajaran Islam, ia wajib dibunuh.[6]
Khalifah
Abu Bakar dan Umar Ibn al-Khattab dapat mereka terima. Keduanya tidak
menyeleweng dari ajaran Islam. Tetapi Usman dan Ali mereka anggap telah
menyeleweng dari ajaran Islam. Sejak itulah Usman dan Ali bagi mereka telah
menjadi kafir, demikian pula halnya dengan Mu;awiyah, Amr Ibn al-As, Abu Musa
al-Asy’ari serta semua orang yang mereka anggap telah melanggar ajaran-ajaran
Islam.[7]
Kaum
Khawarij terpecah belah menjadi golongan-golongan kecil serta dapat pula
dimengerti tentang sikap mereka yang terus menerus mengadakan perlawanan
terhadap penguasa-penguasa Islam dan Umat Islam yang ada di zaman mereka.
1.
Al-Muhakkimah
Golongan Khawarij asli dan terdiri dari
pengikut-pengikut Ali, disebut golongan al-Muhakkimah. Bagi mereka, Ali,
Mu’awiyah, kedua pengantara Amr Ibn al-As dan Abu Musa al-Asy’ari dan semua
orang yang menyetujui arbitrase bersalah dan menjadi kafir. Hukum kafir ini
mereka luaskan artinya sehingga termasuk kedalamnya tiap orang yang bebuat dosa
besar.
2.
Al-Azariqah
Sesudah golongan al-Muhakkimah hancur adalah
golongan Azariqah. Daerah kekuasaan mereka terletak di perbatasan Irak dengan
Iran. Nama ini di ambil dari Nafi’ Ibn al-Azraq.[8]
Khalifah pertama yang mereka pilih ialah Nafi’ sendiri dan kepadanya mereka
beri gelar Amir al-Mu’minin. Nafi’ mati dalam pertempuran di Irak pada tahun
686 M.
Subsekte ini sikapnya lebih radikal dari
al-Muhakkimah. Mereka tidak lagi memakai term kafir, tetapi term musyrik.[9]
Dan didalam Islam syrik merupakan dosa besar lebih besar dari kufr.
Selanjutnya yang dipandang musyrik ialah semua orang
Islam yang tak sepaham dengan mereka.[10]
3.
Al-Najdat
Najdah Ibn Amir
al-Hanafi dari Yamamah dengan pengikut-pengikutnya pada mulanya ingin
menggabungkan diri dengan golongan al- Azariqah. Sebagian dari
pengikut-pengikut Nafi’ Ibn al-Azraq, diantaranya Abu Fudaik, Rasyid al-Tawil
dan Atiah al-Hanafi, tidak dapat menyetujui paham bahwa orang Azraqi yang tak
mau berhijrah ke dalam lingkungan al-Azariqah adalah musyrik. Mereka tak setuju
pendapat tentang boleh dibunuh anak istri orang-orang Islam yang tak sepaham dengan
mereka.[11]
Najdah berlainan dengan kedua golongan di atas, ia berpendapat bahwa yang
diwajibkan bagi tiap muslim ialah mengetahui Allah dan Rasul-rasulnya,
mengetahui haram membunuh orang Islam dan percaya pada seluruh apa yang diwahyukan Allah kepada Rasul-nya. Orang yang
tidak mengetahui ini tak dapat di ampuni.[12]
4.
Al-‘Ajaridah
Mereka adalah pengikut
dari Abd al-Karim Ibn ‘Ajrad yang menurut al-Syahrastani merupakan salah satu
teman dari ‘Atiah al-Hanafi.[13]
Kaum Ajaridah ini mempunyai paham puritanisme. Surat Yusuf dalam al-Qur’an
membawa cerita cinta dan al-Qur’an sebagai kitab suci, kata mereka, tidak
mungkin mengandung cerita cinta. Oleh karena itu mereka tidak mengakui Surat
Yusuf sebagai bagian dari al-Qur’an.[14]
Ajaridah ini terpecah menjadi golongan-golongan
kecil. Di antara mereka, yaitu golongan al-Maimuniah, menganut paham qadariah. Golongan
al-Hamziah juga mempunyai paham yang sama. Golongan al-Syu’aibiah dan
al-Hazimiah menganut paham sebaliknya.[15]
5.
Al-Sufriah
Pemimpin
golongan ini ialah Ziad Ibn al-Asfar. Hal-hal yang membuat mereka kurang
ekstrim dari yang lain adalah pendapat-pendapat berikut :
a. Orang
sufriah yang tidak berhijrah tidak dipandang kafir.
b. Mereka
tidak berpendapat bahwa anak-anak kaum musyrik boleh dibunuh.[16]
c. Tidak
semua mereka berpendapat bahwa orang yang berbuat dosa besar menjadi musyrik.
d. Daerah
golongan Islam yang tak sepaham dengan mereka bukan dar harb yaitu daerah yang
harus diperangi, anak-anak dan perempuan tak boleh dijadikan tawanan.[17]
e. Kurf
dibagi dua : kurf bin inkar al-ni’mah dan kurf bi inkar al-rububiah.
6.
Al-Ibadiah
Golongan ini
merupakan golongan yang paling moderat dari seluruh golongan Khawarij. Namanya
diambil dari Abdullah Ibn Ibad, yang pada tahun 686 M, memisahkan diri dari
golongan al-Azariqah. Paham mereka dapat dilihat dari ajaran-ajaran berikut :
a. Orang
Islam yang tak sependapat dengan mereka bukanlah mukmin dan bukanlah musyrik,
tetapi kafir.
b. Daerah
orang Islam yang tak sepaham dengan mereka, kecuali camp pemerintah merupakan
dar tawhid, daerah orang yang meng-Esa-kan Tuhan, dan tak boleh diperangi.
c. Orang
Islam yang berbuat dosa besar adalah muwahhid.
d. Yang
boleh dirampas dalam perang hanyalah kuda dan senjata.
C. KAUM MURJI’AH
Tidak memihak
“Moderat ( Lunak ) dan Ekstrim ( Keras )”. Kalau kaum Khawarij menjatuhkan
hukum kafir bagi orang yang berbuat dosa besar, kaum Murji’ah menjatuhkan hukum
mukmin bagi orang yang serupa itu.[18]
Arja’a
mengandung arti memberi pengharapan. Kaum Murji’ah pecah menjadi beberapa
golongan kecil. Kaum Murji’ah menekankan pemikiran yaitu siapa yang masih
mukmin dan tidak keluar dari Islam. Mereka membahas soal jabariah atau fatalism
dan soal qadariah atau free will.
Kaum Murji’ah
dibagai dalam dua golongan besar, yaitu :
a. Golongan
moderat berpendapat bahwa orang yang berdosa besar bukanlah kafir dan tidak
kekal dalam neraka, tetapi akan dihukum dalam neraka sesuai dengan besarnya
dosa yang dilakukannya.[19]
b. Golongan
Ekstrim berpendapat orang Islam yang percaya pada Tuhan dan kemudian menyatakan
kekufuran secara lisan tidaklah menjadi kafir, karena iman dan kufr tempatnya
hanyalah didalam hati, bukan dalam bagian lain dari tubuh manusia.[20]
D. QADARIAH DAN JABARIAH
Qadariah
berpendapat bahwa manusia mempunyai kemerdekaan dan kebebasan dalam menentukan
perjalanan hidupnya. Dalam istilah inggrisnya paham ini dikenal dengan nama
free will dan free act.
Kaum
Jabariah berpendapat sebaliknya. Manusia tidak mempunyai kemerdekaan dalam
menentukan kehendak mutlak Tuhan. Nama Jabariah berasal dari kata jabara yang
berarti memaksa. Dalam istilah inggrisnya paham ini dikenal dengan nama
fatalism atau predestination.
Paham
Qadariah ditimbulkan buat pertama kali oleh seorang bernama Ma’bad al-Juhani.
Menurut Ibn Nabatah, Ma’bad al-Juhani dan temannya Ghailan al-Dimasyqi
mengambil paham ini dari seorang Kristen yang termasuk Islam di Irak.[21]
Selain
dari penganjur paham qadariah, Ghailan juga merupakan pemuka Murji’ah dari
golongan al-Salihiah.[22]
Aliran yang sebaliknya yaitu paham Jabariah, ditonjolkan buat pertama kali
dalam sejarah teologi Islam oleh al-Ja’d Ibn Dirham. Tetapi yang menyiarkannya
adalah Jahm Ibn Safwan dari Khurasan.
Paham
yang dibawah Jahm adalah lawan ekstrim dari paham yang dianjurkan Ma’bad dan
Ghailan. Manusia, menurut Jahm, tidak mempunyai kekuasaan untuk berbuat apa-apa.
E. KAUM MU’TAZILAH
Kaum
Mu’tazilah adalah golongan yang membawa persoalan-persoalan teologi yang lebih
mendalam dan bersifat filosofis dari pada persoalan-persoalan yang dibawah kaum
Khawarij dan Murji’ah. Mereka banyak memakai akal sehingga mereka mendapat nama
“kaum rasionalis Islam”.
Berbagai
analisa yang dimajukan tentang pemberian nama Mu’tazilah kepada mereka. Uraian
yang biasa disebut buku-buku Ilm al-Kalam berpusat pada peristiwa yang terjadi
antara Wasil Ibn Ata serta temannya Amr Ibn Ubaid dan Hasan al-Basri di Basrah.
Menurut
al-Baghdadi, Wasil dan temannya Amr
Ibn Ubaid Ibn Bab diusir oleh Hasan al-Basri dari majlisnya karena adanya
pertikaian antara mereka mengenai persoalan qadar dan orang yang berdosa besar.
Orang
yang pertama membina aliran Mu’tazilah adalah Wasil Ibn Ata’. Ajaran pertama yang dibawah Wasil tentulah paham al-Manzilah
bain al-manzilatain. Ajarannya kedua adalah paham qadariah yang dianjurkan oleh
Ma’bad dan Ghailan. Ajaran Wasil yang ketiga mengambil bentuk peniadaan
sifat-sifat Tuhan dalam arti bahwa apa-apa yang disebut sifat Tuhan sebenarnya
bukanlah sifat yang mempunyai wujud tersendiri di luar zat.[23]
Abu al-Huzail
menjadi pemimpin kedua dari cabang Basrah setelah Wasil dan banyak berhubungan
dengan filsafat Yunani. Abu al-Huzail
berpendapat bahwa manusia dengan mempergunakan akalnya, dapat wajib mengetahui
Tuhan.
Seorang
pemimpin Mu’tazilah lain ialah Mu’ammar
Ibn Abbad yang hidup semasa dengan Abu al-Huzail dan al-Nazzam. Menurut
pendapatnya, yang diciptakan Tuhan hanyalah benda-benda materi adapun al-a’rad
atau accidents adalah kreasi benda-benda materi itu sendiri.[24]
Mengenai
sifat Tuhan, al-Jubba’i berpendapat
bahwa Tuhan mengetahui melalui esensi-Nya, demikian pula berkuasa dan hidup
melalui esensi-Nya.
Salah
seorang pemuka Mu’tazilah Bagdad adalah Abu
Musa al-Murdar (w.226 H ). Ia berpendapat bahwa perbuatan-perbuatan manusia
bukanlah diciptakan Tuhan tetapi diwujudkan oleh manusia itu sendiri.[25]
Hisyam Ibn Amr
al-Fuwati, pemimpin lain dari cabang Bagdad, mengatakan bahwa
surga dan neraka belum mempunyai wujud sekarang karena masa memasuki surga atau
neraka belum tiba.[26]
Pemimpin
lain ialah Abu al-Husain al-Khayyat (
w.300 H ) dan Sumamah Ibn Asyras ( w. 213 H ). Berpendapat bahwa daya berbuat
bagi manusia terdapat dalam tubuh manusia itu sendiri, yaitu tubuh yang baik
dan sehat lagi tidak mempunyai cacat.[27]
Al-Khayyat,
mengatakan bahwa kehendak bukanlah sifat yang melekat pada zat Tuhan dan pula
Tuhan berkehendak bukan melalui zat-Nya.
Urutan
menurut pentingnya kedudukan tiap dasar sebagai berikut : al-Tawhid, al-Adl, al-Wa’d, al-Wa’id, al-Manzilah bain al-Manzilatain
dan al-Amr bi al-Ma’ruf wa al-Nahy’an al-munkar.
Selanjutnya
kaum Mu’tazilah membagi sifat-sifat Tuhan ke dalam 2 golongan :
1. Sifat-sifat
yang merupakan esensi Tuhan dan disebut sifat zatiah.
2. Sifat-sifat
yang merupakan perbuatan-perbuatan Tuhan yang disebut sifat fi’liah.
Al-Nasysyar,
guru besar falsafat Islam di Universitas Alexandria umpamanya, menulis tentang
al-Nazzam. Ia berpendapat bahwa al-Nazzam adalah orang lurus serta benar (
sadiq ) yang banyak usahanya dalam membela Islam.[28]
Ahmad Mahmud Subhi, dosen falsafat Islam di
Universitas Alexandria, menerangkan bahwa paham yang mengatakan al-I’tizal sama
artinya dengan perpecahan ( insyiqaq = schism ) timbul sesudah abad ke-4 H.[29]
Ahmad Amin,
berpendapat bahwa Kaum Mu’tazilah golongan Islam yang pertama memakai senjata
yang dipergunakan lawan-lawan Islam dari golongan Yahudi, Kristen, Majusi dan
Materialist dalam menangkis serangan-serangan terhadap Islam di permulaan
kerajaan Bani Abbas.[30]
Syekh Muhammad
Yusuf Musa ( dari kalangan alim ulama ), dalam urainnya
mengenai kaum Mu’tazilah dan kaum Asy’ariah, mengeluarkan pendapat yang
mengandung nada setuju dengan ajaran-ajaran Mu’tazilah tersebut, terutama
ketika membicarakan paham qadariah Mu’tazilah dan paham kasb kaum Asy’ariah.[31]
Syekh Muhammad
Ahmad Abu Zahrah, menjelaskan pertentang-pertentangan
teologi, yang terdapat dalam Islam tidaklah mengenai inti dan dasar dari
ajaran-ajaran Islam. Yang dimaksudnya ialah bahwa pertentangan – pertentangan
itu tidak berkisar sekitar usul atau dasar-dasar iman dalam Islam yang membuat
seseorang kafir kalau tidak lagi percaya kepada dasar-dasar itu.
F. AHLI SUNNAH DAN JAMA’AH
Bertentang dengan paham qadariah yang dianut kaum
Mu’tazilah dan yang menganjurkan kemerdekaan dan kebebasan manusia dalam
berpikir, kemauan dan perbuatan, pemuka-pemuka Mu’tazilah memakai kekerasan
dalam usaha menyiarkan ajaran-ajaran mereka. Ajaran yang ditonjolkan ialah
paham bahwa al-Qur’an tidak bersifat qadim, tetapi baharu dan diciptakan. Menduakan
Tuhan ialah syirik dan syirik adalah dosa yang terbesar dan tak dapat diampuni
oleh Tuhan.
Al-Ma’mun orang yang mempunyai paham syirik tak
dapat dipakai untuk menempati posisi penting dalam pemerintahan. Ia mengirim
intruksi kepada para Gubernur untuk mengadakan ujian terhadap pemuka-pemuka
dalam pemerintahan dan pemuka-pemuka yang berpengaruh dalam masyarakat. Dengan
demikian timbullah dalam sejarah Islam apa yang disebut mihnah atau
inquisition.
Contoh dari surat yang mengandung instruksi itu
terdapat dalam Tarikh al-Tabari.[32]
Diantara yang diuji Ahmad Ibn Hanbal, dialog yang terjadi antara Ishaq Ibn
Ibrahim, Gubernur Irak dengan Ahmad Ibn Hanbal, sebagai berikut :
Ishaq :
apa pendaptmu tentang al-Qur’an ?
Ibn Hanbal :
Sabda Tuhan.
Ishaq :
apakah ia diciptakan ?
Ibn Hanbal :
sabda Tuhan. Saya tak dapat mengatakan lebih
Dari itu.
Ishaq :
apa arti dari ayat : Maha Mendengar ( Sami’ ) dan
Maha Melihat ( Basir ) ?
( Ishaq ingin menguji Ibn Hanbal tentang
paham
Anthropomorphisme ).
Ibn Hanbal :
Tuhan mensifatkan diri-Nya (dengan kata-kata itu)
Ishaq :
Apa artinya ?
Ibn Hanbal :
Tidak tahu. Tuhan adalah sebagaimana ia sifatkan
Diri-Nya.[33]
Bagaimanapun, yang dimaksud dengan Ahli Sunnah dan
Jama’ah di dalam lapangan teologi Islam adalah kaum Asy’ariah dan kaum
Maturidi.
Menurut Hammudah Ghurabah ajaran-ajaran seperti yang
diperoleh al-Asy’ari dari al-Jubba’i, menimbulkan persoalan-persoalan yang tak
mendapat penyelesaian yang memuaskan.[34]
Salah satu pengikut al-Asy’ari yang besar pula
pengaruhnya ialah Abd al-Malik al-Juwaini yang juga terkenal dengan nama Imam
al-Haramain. Ia lahir di Khurasan tahun 419 H, dan wafat di tahun 478 H.
Abu Hamid al-Ghazali (1058-1111) adalah pengikut
al-Asy’ari yang terpenting dan terbesar pengaruhnya pada umat Islam yang
beraliran ahli Sunnah dan Jama’ah.
Atas pengaruh al-Ghazali, ajaran al-Asy’ari yang
serupa inilah yang meluas di kalangan Islam ahli Sunnah dan Jama’ah.
Pemburuan terhadap pemuka-pemuka Asy’ari ini
berhenti dengan wafatnya Tughril di tahun 1063. Penggantinya Alp Arselan ( 1063
– 1092 ) mengangkat Nizam al-Mulk sebagai pengganti al-Kunduri.
Perdana menteri baru itu adalah penganut aliran
Asy’ariah, dan atas usahanya pula aliran ini cepat berkembang, sedangkan aliran
Mu’tazilah mulai mundur kembali. Ia mendirikan sekolah-sekolah yang diberi nama
al-Nizamiah, diantaranya di Bagdad dimana al-Ghazali pernah mengajar.
Di Mesir aliran itu dibawa oleh Salah al-Din
al-Aiyubi, sebagai pengganti dari aliran Syiah yang dibawa oleh kerajaan Fatimi
yang berkuasa di Mesir dari tahun 969 M sampai 1171 M.
Aliran Maturidiah ( Abu Mansur Muhammad Ibn Muhammad Ibn Mahmud al-Maturidi ) lahir di
Samarkand pada pertengahan kedua dari abad ke-9 M dan meninggal di tahun 944 M.
Sistem pemikiran teologi yang ditimbulkan Abu Mansur termasuk dalam golongan
teologi Ahli Sunnah dan dikenal dengan nama al-Maturidiah.
Literature mengenai ajaran-ajaran Abu Mansur dan aliran Maturidiah tidak
sebanyak literature mengenai ajaran-ajaran Asy’ariah.
Karangan-karangan al-Maturidi sendiri masih belum
dicetak dan tetap dalam bentuk MSS ( Makhtutat ).
Diantara MSS itu ialah Kitab al-Tawhid dan Kitab
Ta’wil al-Qur’an. Karangan-karangan yang disusun oleh al-Maturidi yaitu Risalah
Fi al-Aqa’id dan Syarh al-Fiqh al-Akbar.
Dalam soal perbuatan-perbuatan manusia, al-Maturidi
sependapat dengan golongan Mu’tazilah, bahwa manusialah sebenarnya yang
mewujudkan perbuatan-perbuatannya.[35]
Sama dengan al-Asy’ari, al-Maturidi menolak ajaran
Mu’tazilah tentang al-salah wa al-aslah, tetapi di samping itu al-Maturidi
berpendapat bahwa Tuhan mempunyai kewajiban-kewajiban tertentu.[36]
Mengenai soal dosa besar al-Maturidi sepaham dengan
al-Asy’ari bahwa orang yang berdosa besar masih tetap mukmin, dan soal dosa
besarnya akan ditentukan Tuhan kelak di akhirat. Tetapi soal al-Wa’d wa
al-Wa’id al-Maturidi sepaham dengan Mu’tazilah.
Salah satu pengikut penting dari al-Maturidi ialah
Abu al-Yusr Muhammad al-Bazdawi (421-493 H). nenek al-Bazdawi adalah murid dari
al-Maturidi. Murid dari al-Bazdawi ialah Najm al-Din Muhammad al-Nasafi
(460-537 H ), pengarang buku al-Aqa idal-Nasafiah.
Al-Baqillani dan al-Juwaini, al-Bazdawi tidak pula
selamanya sepaham dengan al-Maturidi.
Aliran Maturidiah, sebagaimana telah dijelaskan
sebelumnya adalah teologi yang banyak dianut oleh umat Islam yang memakai
mazhab Hanafi.
[1] Keterangan
lebih lanjut mengenai jalan dagang Timur-Barat ini dan pengaruhnya terhadap
Mekkah, dapat dibaca dalam Philip K.
Hitti, History of the Arabs, London, Mac Millan & Co. Ltd., 1964, Bab
IV-VII, passim, Bernard Lewis, The Arabs in History, New York, Harper &
Row, 1960, Bab I, Passim dan W. M. Watt, Mahomet a La Mecque, terjemahan F.
Douryeil, Paris, Payot, 1958, Hlm. 21-43.
[2] Muhammad
Prophet and Statesman, Oxford University
Press, 1961, Hlm. 222/3.
[3] Lihat
Shorter Encylopedia of Islam, Leiden, E.
J. Brill, 1961, Hlm. 534.
[4] Al-Maidah
(5) – 44. Siapa yang tidak menentukan hukum dengan apa yang telah diturunkan
Allah, adalah kafir.
[5] Disebut
juga Haraura menurut ejaan yang diberikan Yaqut, lihat : Al-Asy’ari, Maqalat
al-Islamiyin (selanjutnya diesbut Maqalat), al-Nahdah al-Misriyah, Kairo, 1950,
jilid I, hlm. 156, footnote I.
[6] Lihat
Muhammad Ahmad Abu Zahrah, Al-Mazahib al-Islamiah ( Selanjutnya disebut al-Mazahib), Maktabah al-Adab, Kairo, tat,
Hlm. 105-106.
[7] Lebih
lanjut mengenai pendapat Khawarij tentang Khalifah yang empat, lihat Maqalat, I/189.
[8]
Al-Farq, 85.
[9]
Lihat Ibid, 83.
[10]
Ibid.
[11]
Al-Farq, 87.
[12]
Al-Milal, I/23 dan Maqalat, I/163.
[13]
Al-Milal, I/124, Lihat juga al-Farq,94.
[14]
Al-Milal, I, 128.
[15]
Al-Farq, 94.
[16]
Ibid, 137.
[17]
Al-Mazahib, 125.
[18] Kata
mu’min sebagai dipakai pada waktu itu kelihatannya masih identik dengan kata
muslim. Belum terdapat perbedaan arti seperti yang terdapat di zaman
sesudahnya.
[19]
Al-Milal, I/146.
[20]
Maqalat, I/198.
[21]
Lihat Fajr al-Islam, 255.
[22]
Lihat al-Milal, I/146.
[23] Zat
disini dipakai bukan dalam arti yang dikenal di dalam bahasa Indonesia yaitu
benda materi, tetapi dalam arti aslinya yang dipakai di dalam bahasa Arab,
yaitu esensi.
[24]
Lihat al-Milal, I/66.
[25]
Ibid.
[26]
Ibid, 73.
[27]
Ibid, 71.
[28]
Ibid, I/583.
[29]
Fi’Ilm al-Kaalam, 77.
[30]
Fajr al-Islam, 299-300.
[31]
Al-Qur’an wa al-Falsafah, Kairo, 1966, Hlm. 96 dst.
[32]
Jilid VIII, hlm. 631-644.
[33]
Terjemahan bebas dari teks dalam Ibid, VIII/639.
[34]
Al-Asy’ari, Kairo, 1953, Hlm. 65.
[35]
Ibid, 11.
[36]
Infra, 122. Dst.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar