Sabtu, 10 Maret 2018

Falsafi Ahwal dan Maqamat dalam Ilmu Tasawuf



A.    Pengertian Ahwal dan Maqamat
Hal Jamaknya Ahwal, istilah hal adalah keadaan atau kondisi psikologis ketika seorang sufi mencapai maqam tertentu.
Menurut Ath-Thusi, keadaan (hal) tidak termasuk usaha latihan-latihan rohaniyah (jalan). Di antara contoh hal (keadaan) adalah keterpusatan diri (muraqabah), kehampiran atau kedekatan (qarb), cinta (hubb), takut (khauf), harap (raja), rindu (syauq), intim (uns), tentram (thuma’ninah), penyaksian (musyahadah), dan yaqin.

Maqamat bentuk jama’ dari maqam yang artinya tahapan atau tingkatan, yakni tingkatan spiritual yang telah di capai oleh seorang sufi.
Dan yang dimaksud maqam oleh para sufi ialah tingkatan seorang hamba di hadapan-Nya, dalam hal ibadah dan latihan-latihan (Riyadhah) jiwa yang dilakukannya.

B.     Perbedaan Ahwal dan Maqamat
Para sufi menegaskan perbedaan maqam dan hal. Maqam, menurut mereka, ditandai oleh kemapanan, sementara hal justru mudah hilang. Maqam dapat dicapai seseorang dengan kehendak dan upayanya, sementara hal dapat diperoleh  seseorang tanpa di sengaja. Mengenai hal ini, Al-Qusyairi, dalam kitabnya Ar-Risalah Al-Qusyairiyah, berkata, “Hal adalah makna yang datang pada kalbu tanpa disengaja. Hal diperoleh tanpa daya dan upaya, baik dengan menari, bersedih, atau rasa harap. Jelasnya, hal sama dengan bakat, sementara maqam diperoleh dengan daya dan upaya. Hal akan datang dengan sendirinya, sementara maqam diperoleh dengan upaya. Orang yang meraih maqam dapat tetap dalam tingkatannya, sementara orang yang meraih hal justru akan mudah lepas dari dirinya.
Namun perlu dicatat bahwa antara maqam dan hal tidak dapat dipisahkan. Keduanya ibarat dua sisi dalam satu mata uang. Keterkaitan antara keduanya dapat dilihat dalam kenyataan bahwa maqam menjadi prasyarat menuju Tuhan. Dan bahwa dalam maqam akan ditemukan kehadiran hal. Hal yang telah ditemukan dalam maqam akan mengantarkan seseorang untuk mendaki maqam-maqam selanjutnya.
Sekedar contoh, seseorang yang tengah berada dalam maqam tobat akan menemukan hal (perasaan) betapa indahnya bertobat dan betapa nikmatnya menyadari dosa-dosa di hadapan Tuhan. Perasaan ini akan menjadi benteng kuat untuk tidak mengerjakan kembali dosa-dosa yang pernah dilakukan. [1]

C.    Ahwal yang dijumpai dalam Perjalanan Sufi
Ahwal yang sering dijumpai dalam perjalanan kaum Sufi antara lain adalah muraqabah, qurbah, mahabbah (cinta), khauf (takut), raja’ (harapan), syauq (kerinduan), uns (suka cita), thumaninah (ketenangan), musyahadah (kehadiran hati), dan yaqin (keyakinan sejati).

1.      Muraqabah
Mengenai muraqabah ini, Nabi SAW. Bersabda “Beribadahlah kepada Allah Swt seakan-akan engkau melihatnya, dan jika engkau tidak melihat-Nya, sesungguhnya Dia melihatmu.” (H. R. Muslim).
Adapun yang dimaksud dengan muraqabah bagi seorang hamba adalah pengetahuan dan keyakinannya bahwa Allah SWT, selalu melihat apa yang ada dalam hati nuraninya dan Maha mengetahui.[2]
Orang-orang yang muraqabah dibedakan menjadi tiga tingkatan, yaitu : pertama, orang yang selalu menjaga hatinya sebab Allah swt selalu melihat hati nurani hamba-Nya. Tingkatan ini adalah tingkatan kondisi spiritual para pemula dalam muraqabah.[3] Kedua, orang-orang yang selalu muraqabah kepada Al-Haq dalam kefanaan apapun yang selain Al-Haq dan mengikuti Sang Nabi pilihan SAW, dalam segala perbuatan, akhlak, dan adab beliau.[4] Ketiga, tingkatan orang-orang besar. Mereka selalu muraqabah kepada Allah SWT, dan memohon kepada-Nya agar Dia senantiasa memelihara mereka untuk selalu bisa ber-muraqabah.[5]

2.      Qurbah (Kedekatan)
Kondisi spiritual qurbah (kedekatan) bagi seorang hamba adalah menyaksikan dengan mata hatinya akan kedekatan Allah Swt, dengannya sehingga ia akan melakukan pendekatan diri kepada-Nya dengan seluruh ketaatan dan perhatiannya yang selalu terpusatkan di hadapan Allah Swt, dengan selalu mengiangatnya dalam segala kondisi, baik secara lahiriah maupun rahasia hati.[6]

3.      Mahabbah (Cinta)
Kondisi spiritual (hal) mahabbah bagi seorang hamba adalah melihat dengan kedua matanya terhadap nikmat yang Allah Swt karuniakan kepadanya dan dengan hati nuraninya. Ia melihat kedekatan Allah Swt, dengannya segala perlindungan, penjagaan, dan perhatian yang dilimpahkan kepadanya. Dengan keimanan dan hakikat keyakinannya, ia melihat perlindungan (inayah), petunjuk (hidayah), dan cinta-Nya yang tercurahkan kepadanya, yang seluruhnya sudah ditetapkan sejak zaman azali. Oleh karena itu, ia mencintai Allah azza wa jalla.[7]
Orang yang memiliki kondisi spiritual mahabbah dibedakan menjadi tiga tingkatan, yaitu sebagai berikut :
Pertama, mahabbah orang-orang awam. Mahabbah ini lahir karena kebaikan dan kasih sayang Allah Swt, kepada mereka.[8]
Kedua, mahabbah yang muncul karena hati yang selalu melihat pada keagungan dan kebesaran Allah Swt, ilmu dan kekuasaannya. Dia mahakaya yang tidak membutuhkan apapun. Kondisi spiritual mahabbah yang kedua ini adalah cintanya orang-orang jujur (ash-shadiqin) dan orang-orang yang sanggup mengaktualisasikan kebenaran yang hakiki (al-muhaqqiqin).[9]
Ketiga, mahabbah orang-orang yang benar jujur (ash-shadiqin) dan orang-orang arif (al-arifin). Rasa cintanya muncul karena mereka melihat dan mengetahui cinta Allah Swt, yang tanpa sebab dan alasan apapun. Demikian pula, mereka harus mencintai Allah Swt tanpa sebab dan alasan apapun.[10]

4.      Berharap dan Takut (Raja’ dan Khauf)
Bagi kalangan kaum sufi, raja’ dan khauf berjalan seimbang dan saling mempengaruhi. Raja’ dapat bearti berharap atau optimisme. Raja’ atau optimism adalah perasaan hati yang senang karena menanti sesuatu yang diinginkan dan disenangi. Raja’ atau optimism ini telah ditegaskan dalam Al-Qur’an, “Sesungguhnya orang-orang yang beriman yang hijrah dan berjihad di jalan Allah Swt , mereka itulah orang-orang yang mengharap rahmat Allah Swt. Dan Allah Swt Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.[11]
Orang yang harapan dan penantiannya menjadikannya berbuat ketaatan dan mencegahnya dari kemaksiatan, berarti harapannya benar. Sebaliknya, jika harapannya hanya angan-angan, sementara ia sendiri tenggelam dalam lembah kemaksiatan, harapannya sia-sia dan percuma.[12] Raja’ menuntut tiga perkara, yaitu :
a.       Cinta kepada apa yang diharapkannya.
b.      Takut harapannya itu hilang.
c.       Berusaha untuk mencapainya.
Raja’ yang tidak di barengi dengan tiga perkara itu hanyalah illusi atau khayalan. Setiap orang yang berharap adalah juga adalah orang yang takut (khauf). Orang yang berharap untuk sampai di suatu tempat tepat waktunya, tentu ia takut terlambat. Karena takut terlambat, ia mempercepat jalannya. Begitu pula, orang yang mengharap rida atau ampunan Tuhan, ia akan merasa takut akan siksaan Tuhan.
Ahmad Faridh menegaskan bahwa khauf merupakan cambuk yang digunakan Allah Swt, untuk mengiring hamba-hamba-Nya menuju ilmu dan amal, supaya dengan keduanya itu, mereka dapat dekat dengan Allah Swt. Khauf adalah kesakitan hati karena membayangkan sesuatu yang ditakuti, yang akan menimpa diri pada masa yang akan datang. Khauf dapat mencegah hamba berbuat maksiat dan mendorongnya untuk senantiasa berada dalam ketaatan.
Khauf dan Raja’ salin berhubungan, kekurangan khauf akan menyebabkan seseorang lalai dan berani berbuat maksiat, sedangkan khauf yang berlebihan akan menjadikannya putus asa dan pesimis.[13] Begitu juga sebaliknya, terlalu besar sikap raja’ akan membuat orang sombong dan meremehkan amalan-amalannya, karena optimisnya berlebihan.

5.      Syauq ( Rindu )
Selama masih ada cinta, syauq tetap diperlukan.[14] Dalam lubuk jiwa, rasa rindu hidup dengan subur, yakni rindu ingin segera bertemu dengan Tuhan. Ada yang mengatakan bahwa maut merupakan bukti cinta yang benar. Lupa kepada Allah Swt, lebih berbahaya dari pada maut. Bagi sufi yang rindu kepada Tuhan, kematian dapat berarti bertemu dengan Tuhan, sebab hidup merintangi pertemuan ‘abid dengan Ma’bud-Nya.[15]
Menurut Al-Ghazali, kerinduan kepada Allah Swt dapat dijelaskan melalui penjelasan tentang keberadaan cinta kepada-Nya. Pada saat tidak ada, setiap yang dicintai pasti dirindukan orang yang mencintainya. Begitu hadir dihadapannya, ia tidak dirindukan lagi. Kerinduan berarti menanti sesuatu yang tidak ada. Bila sudah ada, tentunya ia tidak dinanti lagi.[16]

6.      Uns (Suka Cita)
Dalam pandangan kaum sufi, sifat uns (intim) adalah sifat merasa selalu berteman, tak pernah merasa sepi. Ungkapan berikut ini melukiskan sifat uns.
“Ada orang yang merasa sepi dalam keramaian. Ia adalah orang yang selalu memikirkan kekasihnya sebab sedang dimabuk cinta, seperti halnya sepasang muda mudi. Ada pula orang yang merasa bising dalam kesepian. Ia adalah orang yang selalu memikirkan atau merencanakan tugas pekerjaannya semata-mata. Adapun engkau, selalu merasa berteman di manapun berada. Alngkah mulianya engkau berteman dengan Allah Swt, artinya engkau selalu berada dalam pemeliharaan Allah Swt.[17]
Ungkapan diatas melukiskan keakraban atau keintiman seorang sufi dengan Tuhannya. Sikap keintiman ini banyak dialami oleh kaum sufi.

7.      Thuma’ninah
Thuma’ninah adalah merasa tentram setelah bersama dengan Tuhannya, kemudian merasakan ketergantungan terus-menerus dengan-Nya.[18]

8.      Musyahadah
Musyahadah adalah kehadiran yang berarti kedekatan yang dibarengi dengan ilmu yakin dan hakikat-hakikatnya.[19]

9.      Yaqin (Keyakinan Sejati)
Keyakinan sejati ini tidak lain adalah mukasyafah (tersingkapnya apa yang gaib). Mukasyafah dibedakan menjadi tiga macam, yaitu :
a.       Mukasyafah ayan (tersingkapnya tutup mata) sehingga di hari kiamat nanti, ia melihat dengan mata kepala.
b.      Mukasyafatul qulub (Tersingkapnya tutup hati) untuk memahami hakikat-hakikat keimanan secara langsung dengan yakin yang tidak bisa dibayangkan cara memperolehnya dan tidak bisa ditentukan.
c.       Mukasyafatul ayat (Tersingkapnya tanda-tanda kebesaran-Nya) dengan ditampakkannya kekuasaan Allah Swt kepada para Nabi dengan mukjizat dan untuk selain para Nabi, dengan karamah (kemuliaan) dan dikabulkannya doa.[20]

Keyakinan sejati merupakan kondisi spiritual yang tinggi. Para pelakunya dibedakan menjadi tiga kondisi.
Pertama, kelas pemula. Mereka adalah para murid dan orang-orang awam. Tingkatan ini, sebagaimana yang dikatakan oleh sebagian kaum sufi, adalah percaya penuh dengan apa yang ada di ‘tangan’ Allah Swt dan pesimis terhadap apa yang ada di tangan manusia.
Kedua, kelas menengah. Mereka adalah orang-orang khusus. Sifat-sifat mereka adalah sebagaimana yang diungkapkan oleh Ibnu Atha’, ‘keyakinan sejati adalah kontinuitas berbagai macam rintangan di sepanjang waktu’.
Ketiga, kelompok para pakar (para elit sufi). Mereka adalah kelompok yang paling khusus. Sifat-sifatnya sebagaimana yang dikatakan Amr bin Utsman Al-Makki, “keyakinan sejati secara global adalah menetapkan keyakinan kepada Allah Swt dengan segala sifat-Nya.”[21]

D.    Maqamat dalam Tasawuf
Terdapat perbedaan jumlah dan sistemtika maqamat antara satu ulama dan ulama lainnya. Perbedaan ini timbul karena adanya perbedaan pengalaman rohaniah masing-masing ulama sufi. Sayyid Hosein Nasr menganalogikan perjalanan seorang sufi dengan mendaki gunung. Awal dan akhir diketahui, tetapi jumlah dan perincian yang sesungguhnya dari tiap langkah yang harus diambil serta cirri-ciri utama jalan yang ditempuh bergantung pada si pendaki. Akan tetapi, tujuan dan perjalanan yang ditempuh adalah sama, yaitu Tuhan.[22]
Sistematika maqamat yang biasa disebut dalam kitab tasawuf adalah tobat, zuhud, sabar, tawakal, kerelaan, cinta, ma’rifat, fana’ dan baqa, serta persatuan, persatuan ini dapat mengambil bentuk al-hulul atau wahdat al-wujud .[23]



1.      Tobat
Maqamat awalnya di awali dengan tobat.[24] Tobat yang dimaksud oleh sufi adalah tobat yang sebenar-benarnya dan tidak akan membawa pada dosa lagi. Terkadang, tobat tidak dapat dicapai dengan sekali saja. Diceritakan bahwa seorang sufi melakukan tobat sampai tujuh puluh kali baru ia mencapai tingkat tobat yang sebenarnya.[25]
Kebanyakan sufi menjadikan tobat sebagai perhentian awal di jalan menuju Allah Swt. Pada tingkat terendah, tobat menyangkut dosa yang dilakukan jasad atau anggota-anggota badan. Pada tingkat menengah, di samping menyangkut dosa yang dilakukan jasad, tobat menyangkut pula pangkal dosa-dosa, seperti dengki, sombong, dan riya. Pada tingkat yang lebih tinggi, tobat menyangkut usaha menjauhkan bujukan setan dan menyadarkan jiwa akan rasa bersalah. Pada tingkat terakhir, tobat berarti penyesalan atas kelengahan pikiran dalam mengingat Allah Swt. Tobat pada tingkat ini adalah penolakan terhadap segala sesuatu, selain yang dapat memalingkan dari jalan Allah Swt.[26]

2.      Zuhud
Pada maqam kedua ini, seorang sufi meninggalkan dunia kematerian. Kebersihan dari dosa tidak cukup hanya dengan tobat, melainkan juga dengan meninggalkan dunia materi dan kebutuhan jasmani. Setelah bersih dari dosa, seorang zahid mulai melihat Tuhan bukan sebagai Tuhan yang ditakuti siksa-Nya, tetapi sebagai Tuhan tempat mencari ketenteraman jiwa.[27]
Dilihat dari maksudnya, zuhud terbagi menjadi tiga tingkatan. Pertama (terendah), menjauhkan dunia ini agar terhindar dari hukuman di akhirat. Kedua, menjauhi dunia dengan menimbang imbalan di akhirat. Ketiga, ( tertinggi ), mengucilkan dunia bukan karena takut atau berharap, tetapi karena cinta kepada Allah Swt semata. Orang yang berada pada tingkat tertinggi ini akan memandang segala sesuatu, kecuali Allah Swt, tidak mempunyai arti apa-apa.[28]

3.      Sabar
Sabar bukan hanya berarti patuh dalam menjalankan perintah-perintah Allah Swt, dan menjauhi larangan-larangan Allah Swt, tetapi juga sabar dalam menerima segala cobaan yang ditimpakan Tuhan kepadanya.[29]
Sabar, jika dipandang sebagai  pengekangan tuntutan nafsu dan amarah, dinamakan oleh Al-Ghazali sebagai kesabaran jiwa (ash-shabr an-nafs), sedangkan menahan terhadap penyakit fisik disebut sebagai sabar badani (ash-shabr al-badani). Kesabaran jiwa sangat dibutuhkan dalam berbagai aspek, misalnya untuk menahan nafsu makan dan seks yang berlebihan.[30]

4.      Tawakal
Pada maqam ini, seorang calon sufi menyerahkan diri sepenuhnya pada kehendak Allah Swt. Menurut Ath-Thusi, tawakal terbagi kedalam tiga tingkatan, yaitu tawakal orang-orang beriman, tawakal ahl al-khusus, dan tawakal khusus al-khusus. Tawakal umumnya orang-orang yang beriman tiada lain adalah menggunakan badan dalam beribadah, hati terpaut semata-mata kepada Allah swt, dan jiwa tenteram dengan apa yang ada. Jika diberi, bersyukur dan jika ditolak, bersifat sabar, rela sesuai dengan ketentuan Allah Swt. [31]
Tawakal ahl al-khusus, seperti dijelaskan oleh Abu Al-Abbas ibn ‘Atha, adalah orang yang tawakal kepada Allah swt karena sebab selain Allah swt belum dianggap bertawakal kepada Allah swt hingga ia benar-benar tawakal kepada Allah swt, dengan Allah dank arena Allah. Adapun tawakal khusus al-khusus, seperti yang diungkapkan oleh Asy-Syibli adalah hendaklah engkau berada bersama Allah swt, seakan-akan diterima sendiri tidak ada, dan hendaklah berada bersama dan tak pernah lepas. [32]
Tawakal merupakan gambaran keteguhan hati dalam menggantungkan diri hanya kepada Allah swt. [33] Al-Ghazali mengaitkan tawakal dengan tauhid, dengan penekanan bahwa tauhid sangat berfungsi sebagai landasan tawakal.
Mengenai pengertian at-tawakal ini, Dzun Nun mengartikan bahwa tawakal adalah berhenti memikirkan diri sendiri dan merasa memiliki daya dan kekuatan. Intinya, penyerahan diri sepenuhnya kepada Allah swt disertai perasaan tidak memiliki kekuatan. Hilangnya daya dan kekuatan seolah-olah mengandung arti pasif bahwa at-tawakal adalah kematian jiwa tatkala ia kehilangan peluang, baik menyangkut urusan dunia maupun akhirat. Pernyataan ini sejalan pula dengan apa yang dikatakan oleh sejumlah sufi bahwa barang siapa yang hendak melaksanakan tawakal dengan sebenar-benarnya, hendaknya ia menggali kubur di situ, melupakan dunia dan penghuninya. Artinya, tawakal mencerminkan penyerahan diri manusia kepada Allah swt.[34]

5.      Rela (Ridha)
Ath-Thusi menjelaskan bahwa ridha Allah swt adalah pintu gerbang mendekat Allah swt. Dalam maqam ini, hati seorang hamba begitu tenteram dalam penyerahan diri kepada ketentuan Allah swt.[35] Ketika Al-Junaid ditanya tentang ridha, ia menjawab, ridha adalah menghapuskan pilihan. Adapun Dzun Nun Al-Mishri menjelaskan bahwa ridha adalah kegembiraan hati menerima ketentuan Allah swt yang pahit.[36]
Orang yang ridha mampu melihat hikmah dibalik cobaab yang diberikan Allah swt dan tidak berburuk sangka terhadap ketentuan-Nya. Bahkan, ia mampu melihat keagungan, kebesaran, dan kemaha sempurnaan dzat yang memberikan cobaab kepadanya sehingga tidak mengeluh dan tidak merasakan sakit atas cobaan tersebut. Hanya para ahli makrifat dan mahabbah yang mampu bersikap seperti ini. Mereka bahkan merasakan musibah dan ujian sebagai suatu nikmat lantaran jiwanya bertemu dengan yang dicintainya.[37]
Menurut Abdul Halim Mahmud, ridha mendorong manusia untuk berusaha sekuat tenaga mencapai apa yang dicintai Allah swt dan Rasul-Nya. Namun, sebelum mencapainya, ia harus menerima dan merelakan akibatnya dengan cara apa pun yang disukai Allah swt.[38]

6.      Mahabbah
Maqam yang ke-enam yang dilalui oleh para sufi  adalah mahabbah, pengertian yang diberikan pada mahabbah, antara lain :
a.       Mencintai, kepatuhan kepada Tuhan dan membenci sikap melawan-Nya.
b.      Menyerahkan seluruh diri kepada yang di kasihi (Tuhan).
c.       Mengosongkan hari dari segala-galanya, kecuali dari diri yang dikasihi.[39]

Selanjutnya Ath-Thusi menjelaskan bahwa dalam tingkatan mahabbah, seorang hamba dengan matanya memandang nikmat segala yang telah dilimpahkan Allah Swt kepadanya, dan dengan kalbunya memandang suasana dekat dengan Allah, maka jatuh cintalah sang hamba kepada-Nya.[40]
Lebih jauh, Ath-Thusi membagi mahabbah menjadi tiga tingkatan, yaitu :
Pertama : mahabbah biasa muncul karena kebaikan Allah swt kepada seorang hamba. Cinta atau mahabbah ini diperoleh seorang hamba karena ketulusannya dalam merindukan sang kekasih sering dengan mengingat asma-Nya secara terus-menerus. Sebab, siapa yang mencintai sesuatu, ia sering menyebutnya.
Kedua : mahabbah shadiqin, yaitu yang membersit karena pengenalan yang mendalam atas kebesaran Allah swt. Cinta yang bersemi karena mata hatinya memandang kebesaran, ilmu, dan kekuasaan Allah swt. Cinta yang dapat mengungkap tabir yang memisahkan dirinya dengan Tuhan dan mampu menguak rahasia Tuhan yang tersembunyi.
Ketiga : mahabbah ‘arifin, yaitu cinta hamba-hamba Allah yang mengenal-Nya dengan baik. Dalam cinta seperti ini, yang dilihat bukan lagi cinta, melainkan diri yang dicintai. Akhirnya, sifat-sifat yang dicintai masuk ke dalam diri yang mencintai.[41]
Sufi yang termasyhur dengan pengalaman spiritual mahabbah ini adalah seorang wanita bernama Rabi’ah Al-Adawiyah (713-801). Cintanya yang mendalam kepada Tuhan memalingkan dirinya dari cinta kepada yang lain. Kerinduannya kepada sang kekasih begitu mendalam. Ia sangat khawatir cintanya kepada Allah swt bertepuk sebelah tangan, tak terbalas.

7.      Makrifat
Setelah melalui mahabbah, perjalanan spiritual seorang sufi sampai ke maqam makrifat. Akan tetapi, menurut Al-Ghazali, makrifat datang lebih dulu dari pada mahabbah. Sebaliknya, Al-Kalabi menyebutkan bahwa makrifat datang sesudah mahabbah. Ada pula yang berpendapat bahwa makrifat dan mahabbah adalah kembar dua yang selalu disebut bersama. Keduanya menggambarkan kedekatan hubungan seorang sufi dengan Tuhan. Mahabbah menggambarkan hubungan dalam bentuk cinta, sedangkan makrifat menggambarkan hubungan dalam bentuk pengetahuan dengan hati sanubari.[42]
Menurut Al-Qusyairi, ada tiga alat dalam tubuh manusia yang dipergunakan sufi dalam berhubungan dengan Tuhan, yaitu qalb, untuk mengetahui sifat-sifat Tuhan, ruh untuk mencintai Tuhan, dan sir untuk melihat Tuhan. Sir bertempat dir uh dan ruh bertempat di qalb. Sir timbul dan dapat menerima iluminasi dari Allah kalau qalb dan ruh telah suci sesuci-sucinya. Ketika itulah, Tuhan menurunkan cahaya-Nya kepada sang sufi dan yang dilihat oleh sufi itu pun hanya Allah swt. Di sini, ia sampai ke tingkat makrifat.
Seorang sufi yang telah sampai ke tingkat makrifat dapat melihat Tuhan dengan mata hati sanubarinya. Dengan sampainya ia ketingkat ini, ia telah berada dekat dengan Tuhan. Semakin tinggi tingkatannya dalam makrifat, semakin dekat ia dengan Tuhan sehingga ia bersatu dengan Tuhan, yang disebut ittihad.[43]
Akan tetapi, sebelum seorang sufi sampai ketingkat ittihad, terlebih dahulu ia harus meleburkan dirinya. Selama ia belum dapat meleburkan dirinya, yaitu selama ia masih sadar akan dirinya, ia tidak akan dapat bersatu dengan Tuhan. Peleburan diri ini dalam tasawuf  disebut fana’, dan senantiasa diiringi ole baqa, sesuatu dalam diri sufi akan fana’ atau hancur dan sesuatu yang lain akan baqa atau tinggal. Yang akan hancur dalam diri sufi adalah kesadaran tentang dirinya (al-fana’ an-nafs), sedangkan yang akan tinggal atau muncul adalah kesadaran sufi tentang diri Tuhan.
Sufi yang pertama kali memperkenalkan paham fana’ dan baqa adalah Abu Yazid Al-Bustami (w. 874 M). Dengan fana’, Abu Yazid meninggalkan dirinya dan berada dekat dengan Tuhan. Ketika sampai di ambang pintu ittihad, dari mulutnya keluar ungkapan syatahat (ucapan teopatis) sebagai berikut, “Aku tidak heran terhadap cintaku kepada-Mu karena aku hanyalah hamba yang hina. Tetapi, aku heran terhadap cinta-Mu kepadaku karena Engkau adalah Raja Mahakuasa.”
Akhirnya, Abu Yazid sampai ke tingkat ittihad, sebagaimana ucapannya, “Tuhan berkata, “Mereka semua, kecuali engkau adalah makhluk-Ku”. Aku pun berkata. “Aku adalah Engkau, Engkau adalah Aku, dan Aku adalah Engkau,”.
Abu Yazid mengucapkan kata “aku” bukan lagi sebagai gambaran diri Abu Yazid, melainkan sebagai gambaran Tuhan karena ia telah bersatu dengan diri Tuhan.
Akan tetapi, pengalaman spiritual bersatu dengan Tuhan bukan hanya dengan ittihad seperti yang di alami Abu Yazid. Ada pula pengalaman spiritual lain, seperti al-hulul yang dialami oleh Al-Hallaj, atau wahdat al-wujud yang dialami oleh Ibn Arabi.

E.     Metode Irfani
Pada dasarnya, setiap manusia mempunyai potensi untuk mencapai makrifat. Persoalannya adalah apakah ia telah memenuhi prasarana atau persyaratan ? salah satu persyaratannya, antara lain adalah kesucian jiwa dan hatinya.
Untuk memperoleh kearifan dan makrifat, hati (qalb) mempunyai fungsi esensial, sebagaimana yang di ungkapkan Ibnu Arabi dalam Fushus Al-Hikam-nya : “Qalb dalam pandangan kaum sufi adalah tempat kedatangan kasyf dan ilham. Ia pun berfungsi sebagai alat untuk makrifat dan menjadi cermin yang memantulkan  (tajalli) makna-makna kegaiban.”[44]
Dalam dunia tasawuf, qalb merupakan pengetahuan tentang hakikat-hakikat, termasuk di dalamnya adalah hakikat makrifat. Qalb yang dapat memperoleh makrifat adalah hati yang telah tersucikan dari berbagai noda atau akhlak buruk yang sering dilakukan manusia.[45]karena qalb merupakan bagian jiwa, kesucian jiwa sangat mempengaruhi kecermelangan qalb dalam menerima ilmu. Qalb yang telah tersucikan akan mampu menembus alam malakut (misalnya alam malaikat). Al-Ghazali dalam Kimiya’ As-Sa’adah-nya memasukkan qalb sebagai sesuatu yang sejenis dengan malaikat. [46] Ketika berada di alam malakut inilah, qalb mampu memperoleh ilmu pengetahuan dari Tuhan. Tampaknya, kaum sufi memandang kesucian qalb sebagai prasyarat untuk berdialog secara batin dengan Tuhan. Mereka mengemukakan alasan bahwa Tuhan hanya dapat di dekati dengan jiwa yang suci. Ilmu pengetahuan yang di hasilkan dari kondisi biologis batiniah dengan perangkat gaib yang suci inilah yang mereka sebut sebagai ilmu makrifat. Bahkan, secara spesifik dapat memperoleh ilmu laduni, yakni ilmu yang datang melalui ilham yang dibisikkan ke dalam hati manusia.
Dengan demikian, qalb berpotensi untuk berdialog dengan Tuhan[47]. Inilah yang dimaksud Al-Ghazali dengan ungkapan bahwa di luar akal dan jiwa terdapat alat yang dapat menyingkap pengetahuan yang gaib dan hal-hal yang akan terjadi di masa mendatang.[48] Penyingkapan pengetahuan seperti ini merupakan wacana ‘irfaniyah. Hanya dengan sarana qalb itulah, ilmu makrifat dapat diperoleh manusia.
Dapat dipahami bahwa hati (qalb) menjadi sarana untuk memperoleh makrifat. Qalb lah yang akan mampu mengetahui hakikat pengetahuan karena qalb telah dibekali potensi untuk berdialog dengan Tuhan. Disamping melalui tahapan-tahapan maqamat dan ahwal, untuk memperoleh makrifat, seseorang harus melalui upaya-upaya tertentu, antara lain sebagai berikut.

1.      Riyadhah
Riyadhah, sering juga disebut sebagai latihan-latihan mistik, adalah latihan kejiwaan melalui upaya membiasakan diri agar tidak melakukan hal-hal yang mengotori jiwanya. Riyadhah dapat pula berarti proses internalisasi kejiwaan dengan sifat-sifat terpuji dan melatih diri agar terbiasa meninggalkan sifat-sifat buruk.[49]
Para sufi memasukkan riyadhah sebagai pelatihan kejiwaan dalam upaya meninggalkan sifat-sifat buruk. Termasuk di dalamnya adalah pendidikan akhlak dan pengobatan penyakit-penyakit hati. Para sufi memandang bahwa ubtuk menghilangkan penyakit-penyakit itu, perlu dilakukan riyadhah.[50]
Riyadhah harus disertai dengan mujahadah. Mujahadah yang dimaksudkan di sini adalah kesungguhan dalam perjuangan meninggalkan sifat-sifat buruk yang sangat berat sehingga membutuhkan kesungguhan dalam me-riyadhah-kannya. Perbedaan antara riyadhah dan mujahadah berjuang menekan atau mengendalikan sengan sungguh-sungguh pada masing-masing tahapan riyadhah. Meskipun demikian riyadhah tidak dapat dipisahkan dari mujahadah karena keduanya ibarat dua sisi pada satu mata uang. Hal terpenting dalam riyadhah adalah melatih jiwa untuk melepaskan ketergantungan terhadap kelezatan duniawi yang fatamorgana, lalu menghubungkan diri dengan realitas rohani dan ilahi. Riyadhah akan mengantarkan seseorang selalu berada di bawah bayangan Yang Kudus.

2.      Tafakur
Tafakur penting dilakukan oleh setiap jiwa yang menginginkan makrifat. Sebab, tatkala jiwa telah belajar dan mengolah ilmu, lalu memikirkan (bertafakur) dan menganalisisnya, pintu kegaiban akan dibukakan untuknya. Menurut Al-Ghazali, orang yang berfikir dengan benar akan menjadi dzawi al-albab (ilmuwan) yang terbuka pintu kalbunya sehingga akan mendapat ilham. Laduniyah, Al-Ghazali pun menjelaskan bahwa tafakur merupakan salah satu cara untuk memperoleh ilmu laduni.[51]
Tafakur berlangsung secara internal dengan pembelajaran dan dalam diri manusia melalui aktivitas berfikir yang menggunakan perangkat batiniah (jiwa). Selanjutnya, tafakur dilanjutkan dengan memotensikan nafs kulli (jiwa universal).
Seperti yang di ungkapkan oleh Al-Ghazali :
“Nafs kulli (jiwa universal) lebih besar dan lebih kuat hasilnya dan lebih besar kemampuan perolehannya dalam proses pembelajaran.”

3.      Tazkiyat An-Nafs
Tazkiyat an-nafs adalah proses penyucian jiwa manusia. Proses penyucian jiwa dalam kerangka tasawuf ini dapat dilakukan melalui tahapan takhalli dan tahalli. Tazkiyat an-nafs merupakan inti kegiatan bertasawuf. Sahl bin Abdullah Ash-Shufi berpendapat bahwa siapa saja yang pikirannya jernih, ia berada dalam keadaan kontemplatif. Kalangan sufi adalah orang-orang yang senantiasa menyucikan hati dan jiwanya. Perwujudannya adalah rasa butuh terhadap Tuhannya.
Ada lima hal yang menjadi penghalang jiwa dalam menangkap hakikat, yaitu :
a.       Jiwa yang belum sempurna
b.      Jiwa yang dikotori perbuatan maksiat
c.       Menuruti keinginan badan
d.      Penutup yang menghalangi masuknya hakikat dalam jiwa (taqlid)
e.       Tidak dapat berpikir logis
Tazkiyat an-nafs dalam konsepsi tasawuf berdasar pada asumsi bahwa manusia ibarat cermin, sedangkan ilmu ibarat gambar-gambar objek materil.
Dengan demikian, kesucian jiwa adalah syarat sementara jiwa yang kotor, misalnya dengan mengikuti hawa nafsu duniawi, akan membuat manusia terhijab dari Allah Swt.

4.      Dzikrullah
Secara etimologi, zikir adalah mengingat, sedangkan secara istilah, zikir adalah membasahi lidah dengan ucapan-ucapan pujian kepada Allah Swt. Zikir merupakan metode lain yang paling utama untuk memperoleh ilmu laduni.
Pentingnya zikir untuk mendapatkan ilmu makrifat didasarkan atas argumentasi tentang peranan zikir bagi hati. Al-Ghazali dalam Ihya’ menjelaskan bahwa hati manusia tak ubahnya seperti kolam yang kedalamnya mengalir bermacam-macam air.
Dalam Al-Munqidza, Al-Ghazali menjelaskan bahwa zikir kepada Allah Swt merupakan hiasan bagi kaum sufi. Syarat utama bagi orang yang menempuh jalan Allah Swt adalah membersihkan hati secara menyeluruh dari selain Allah Swt, sedangkan kuncinya adalah menenggelamkan hati secara keseluruhan dengan zikir kepada Allah Swt.
Dalam pandang sufi, zikir akan membuka tabir alam malakut, yakni dengan datangnya malaikat. Sudah menjadi kesepakatan umum bahwa zikir merupakan kunci pembuka alam gaib, penarik kebaikan, penjinak waswas, dan pembuka kewalian.[52] Zikir juga bermanfaat untuk membersihkan hati. Al-Ghazali dalam Ihya-Nya menjelaskan bahwa hati yang terang merupakan pintu gerbang zikir, sedangkan zikir merupakan pintu gerbang yang kasyaf (terbukanya hijab). Kasyaf adalah pintu gerbang kemenangan yang besar. Menurut Al-Ghazali, zikir juga berfungsi untuk mendatangkan ilham. Pada saat itulah, malaikat akan memberikan ilham ke dalam hati.[53]


[1] M. Solihin, Ilmu Tasawuf, ( Bandung : Pustaka Setia, 2008 ), hlm. 77.
[2]  At-Thusi, op, cit, hlm. 113.
[3] Ibid.
[4] Ibid, hlm. 114.
[5] Ibid.
[6] Ibid, hlm. 116.
[7] Ibid, hlm. 119.
[8] Ibid.
[9] Ibid, hlm. 120.
[10] Ibid, hlm. 121.
[11]  Al-Qur’an Surat Al-Baqarah, ayat 218.
[12]  Faridh, Tazkiyat…, hlm. 171-173.
[13]  Ibid, hlm. 179.
[14] Suhrawardi, ‘Awarif…, hlm. 191.
[15] Umarie, Sistematika…, hlm. 85.
[16] Al-Ghazali, Mendekati Allah dengan kecintaan, kerinduan, dan keridaan, terj. Rosihon Anwar dan Asep Suhendar, Pustaka Setia, Bandung, 2004, hlm. 99.
[17] Umarie, Ibid, hlm. 85.
[18] Nata, op, cit, hlm. 94.
[19] Ath-Thusi, op, cit, hlm. 142.
[20] Ibid, hlm. 145.
[21] Ibid, hlm. 146.
[22] Nasr, op, cit, hlm. 88-89.
[23] Nasution, op, cit, hlm. 63.
[24] Nicholson, op, cit, hlm. 30.
[25] Nasution, op, cit, hlm. 67.
[26] Lihat Al-Ghazali, Ihya Ulum Ad-Din, Jilid IV, hlm. 10-11.
[27] Nasution, op, cit, hlm. 67.
[28] Anwar, op, cit, hlm. 74.
[29] Nasution, op, cit, hlm. 68.
[30] Al-Ghazali, op, cit, hlm. 58-59.
[31] Fakhri, op, cit, hlm. 9.
[32] Al-Thusi, op, cit, hlm. 78-79.
[33] Al-Ghazali, op, cit, hlm. 322.
[34] Al-Ghazali, op, cit, hlm. 75.
[35] Ath-Thusi, op, cit, hlm. 80. 
[36] Ibid.
[37] Ahmad Faridh, Tazkiyat An-Nufus, Trans, Nabhani Idris, ( Bandung : Pustaka, 1989 ), hlm. 166.
[38] Abi Nashr As-Siraj Ath-Thusi, Al-Luma’, ditahqiq oleh Abdul Halim Mahmud dan Thaha Abd. Baqi Surur, ( Mesir : Dar Al-Kutub Al-Haditsah dan Maktabah Al-Mutsama Baghdad, 1960 ), hlm. 278.
[39] Nasution, op, cit, hlm. 70.
[40] Ath-Thusi, op, cit, hlm. 86.
[41] Ibid.
[42] Nasution, op, cit, hlm. 75.
[43] Ibid, hlm. 77-79.
[44] Ibnu Arabi, Fushus Al-Hikam, Jilid II, ttp, t.t. hlm. 4.
[45] Al-Ghazali menyebut penyucian qalb dengan tahrir al-qalb, yakni menyucikan qalb dari akhlak buruk dan sifat-sifat bahimiyyah ( hewan berkaki empat )sehingga yang menjadi pakaian qalb adalah sifat-sifat malaikat (Lihat Al-Ghazali, Kimiya’ As-Sa’dah, hlm. 123 ).
[46] Al-Ghazali, Ibid, hlm. 126.
[47] Al-Ghazali, Ihya’, Jilid III, op, cit, hlm. 25 ; pemahaman bahwa yang bisa berdialog dengan Tuhan adalah hati, bukan akal, juga bisa kita lihat pada pendapat Ibnu Arabi ( Ibnu Arabi, loc, cit ).
[48] Al-Ghazali, Al-Munqidz Min Adh-Dhalal, Kairo : Silsilah Ats-Tsaqafah Al-Islamiyyah, 1961, hlm. 59.
[49]  Al-Ghazali, Risalah Al-Ladunniyah, dalam al-Qushur Al-Awali, Jilid I, Mesir : Makbatah Al-Jundi, 1970 ), hlm. 122.
[50] Lihat Al-Ghazali, Ihya, Jilid III, op, cit, hlm. 47-395;     Muhammad Jamaluddin Al-Qasimi Ad-Dimasyqi, Mau’izahat Al-Mu’minin min Ihya Ulum Ad-Din, Singapura : Dar Ulum Al-Islamiyyah, t.t, hlm. 188-301.  
[51] Al-Ghazali, Risalah Laduniyah, op, cit, hlm. 122.
[52] Lihat Abd. Wahab Asy-Sya’roni. Anwar Al-Qudsiyyah fi Ma’rifati Qawa’id Ash-Shifiyyah, ( Jakarta : Dinamika Berkah Utama. t, t, hlm. 28.
[53] Al-Ghazali, Ihya’, Jilid III, hlm. 91. Lihat Pula : Anwar, op, cit, hlm. 77-83.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar