A. Pengertian Ahwal dan Maqamat
Hal
Jamaknya Ahwal, istilah hal adalah keadaan atau kondisi psikologis ketika
seorang sufi mencapai maqam tertentu.
Menurut
Ath-Thusi, keadaan (hal) tidak termasuk usaha latihan-latihan rohaniyah (jalan).
Di antara contoh hal (keadaan) adalah keterpusatan diri (muraqabah), kehampiran
atau kedekatan (qarb), cinta (hubb), takut (khauf), harap (raja), rindu
(syauq), intim (uns), tentram (thuma’ninah), penyaksian (musyahadah), dan
yaqin.
Maqamat bentuk jama’ dari maqam yang artinya tahapan
atau tingkatan, yakni tingkatan spiritual yang telah di capai oleh seorang
sufi.
Dan yang dimaksud maqam oleh para sufi ialah
tingkatan seorang hamba di hadapan-Nya, dalam hal ibadah dan latihan-latihan
(Riyadhah) jiwa yang dilakukannya.
B. Perbedaan Ahwal dan Maqamat
Para sufi menegaskan perbedaan maqam dan hal. Maqam,
menurut mereka, ditandai oleh kemapanan, sementara hal justru mudah hilang.
Maqam dapat dicapai seseorang dengan kehendak dan upayanya, sementara hal dapat
diperoleh seseorang tanpa di sengaja.
Mengenai hal ini, Al-Qusyairi, dalam kitabnya Ar-Risalah Al-Qusyairiyah, berkata,
“Hal adalah makna yang datang pada kalbu
tanpa disengaja. Hal diperoleh tanpa daya dan upaya, baik dengan menari,
bersedih, atau rasa harap. Jelasnya, hal sama dengan bakat, sementara maqam
diperoleh dengan daya dan upaya. Hal akan datang dengan sendirinya, sementara
maqam diperoleh dengan upaya. Orang yang meraih maqam dapat tetap dalam tingkatannya,
sementara orang yang meraih hal justru akan mudah lepas dari dirinya.
Namun perlu dicatat bahwa antara maqam dan hal tidak
dapat dipisahkan. Keduanya ibarat dua sisi dalam satu mata uang. Keterkaitan
antara keduanya dapat dilihat dalam kenyataan bahwa maqam menjadi prasyarat
menuju Tuhan. Dan bahwa dalam maqam akan ditemukan kehadiran hal. Hal yang
telah ditemukan dalam maqam akan mengantarkan seseorang untuk mendaki
maqam-maqam selanjutnya.
Sekedar
contoh, seseorang yang tengah berada dalam maqam tobat akan menemukan hal
(perasaan) betapa indahnya bertobat dan betapa nikmatnya menyadari dosa-dosa di
hadapan Tuhan. Perasaan ini akan menjadi benteng kuat untuk tidak mengerjakan
kembali dosa-dosa yang pernah dilakukan. [1]
C. Ahwal yang dijumpai dalam
Perjalanan Sufi
Ahwal
yang sering dijumpai dalam perjalanan kaum Sufi antara lain adalah muraqabah,
qurbah, mahabbah (cinta), khauf (takut), raja’ (harapan), syauq (kerinduan),
uns (suka cita), thumaninah (ketenangan), musyahadah (kehadiran hati), dan
yaqin (keyakinan sejati).
1.
Muraqabah
Mengenai muraqabah ini, Nabi SAW. Bersabda “Beribadahlah kepada Allah Swt seakan-akan
engkau melihatnya, dan jika engkau tidak melihat-Nya, sesungguhnya Dia
melihatmu.” (H. R. Muslim).
Adapun yang dimaksud dengan muraqabah bagi seorang
hamba adalah pengetahuan dan keyakinannya bahwa Allah SWT, selalu melihat apa
yang ada dalam hati nuraninya dan Maha mengetahui.[2]
Orang-orang yang muraqabah dibedakan menjadi tiga
tingkatan, yaitu : pertama, orang yang selalu menjaga hatinya sebab Allah swt
selalu melihat hati nurani hamba-Nya. Tingkatan ini adalah tingkatan kondisi
spiritual para pemula dalam muraqabah.[3]
Kedua, orang-orang yang selalu muraqabah kepada Al-Haq dalam kefanaan apapun
yang selain Al-Haq dan mengikuti Sang Nabi pilihan SAW, dalam segala perbuatan,
akhlak, dan adab beliau.[4]
Ketiga, tingkatan orang-orang besar. Mereka selalu muraqabah kepada Allah SWT,
dan memohon kepada-Nya agar Dia senantiasa memelihara mereka untuk selalu bisa
ber-muraqabah.[5]
2.
Qurbah
(Kedekatan)
Kondisi spiritual qurbah (kedekatan) bagi seorang
hamba adalah menyaksikan dengan mata hatinya akan kedekatan Allah Swt,
dengannya sehingga ia akan melakukan pendekatan diri kepada-Nya dengan seluruh
ketaatan dan perhatiannya yang selalu terpusatkan di hadapan Allah Swt, dengan
selalu mengiangatnya dalam segala kondisi, baik secara lahiriah maupun rahasia
hati.[6]
3.
Mahabbah
(Cinta)
Kondisi spiritual (hal) mahabbah bagi seorang hamba
adalah melihat dengan kedua matanya terhadap nikmat yang Allah Swt karuniakan
kepadanya dan dengan hati nuraninya. Ia melihat kedekatan Allah Swt, dengannya
segala perlindungan, penjagaan, dan perhatian yang dilimpahkan kepadanya.
Dengan keimanan dan hakikat keyakinannya, ia melihat perlindungan (inayah),
petunjuk (hidayah), dan cinta-Nya yang tercurahkan kepadanya, yang seluruhnya
sudah ditetapkan sejak zaman azali. Oleh karena itu, ia mencintai Allah azza wa
jalla.[7]
Orang yang memiliki kondisi spiritual mahabbah
dibedakan menjadi tiga tingkatan, yaitu sebagai berikut :
Pertama, mahabbah orang-orang awam. Mahabbah ini
lahir karena kebaikan dan kasih sayang Allah Swt, kepada mereka.[8]
Kedua, mahabbah yang muncul karena hati yang selalu
melihat pada keagungan dan kebesaran Allah Swt, ilmu dan kekuasaannya. Dia
mahakaya yang tidak membutuhkan apapun. Kondisi spiritual mahabbah yang kedua
ini adalah cintanya orang-orang jujur (ash-shadiqin) dan orang-orang yang
sanggup mengaktualisasikan kebenaran yang hakiki (al-muhaqqiqin).[9]
Ketiga, mahabbah orang-orang yang benar jujur
(ash-shadiqin) dan orang-orang arif (al-arifin). Rasa cintanya muncul karena mereka
melihat dan mengetahui cinta Allah Swt, yang tanpa sebab dan alasan apapun.
Demikian pula, mereka harus mencintai Allah Swt tanpa sebab dan alasan apapun.[10]
4.
Berharap
dan Takut (Raja’ dan Khauf)
Bagi kalangan kaum sufi, raja’ dan khauf berjalan seimbang
dan saling mempengaruhi. Raja’ dapat bearti berharap atau optimisme. Raja’ atau
optimism adalah perasaan hati yang senang karena menanti sesuatu yang
diinginkan dan disenangi. Raja’ atau optimism ini telah ditegaskan dalam
Al-Qur’an, “Sesungguhnya orang-orang yang
beriman yang hijrah dan berjihad di jalan Allah Swt , mereka itulah orang-orang
yang mengharap rahmat Allah Swt. Dan Allah Swt Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang”.[11]
Orang yang harapan dan penantiannya menjadikannya
berbuat ketaatan dan mencegahnya dari kemaksiatan, berarti harapannya benar.
Sebaliknya, jika harapannya hanya angan-angan, sementara ia sendiri tenggelam
dalam lembah kemaksiatan, harapannya sia-sia dan percuma.[12]
Raja’ menuntut tiga perkara, yaitu :
a. Cinta
kepada apa yang diharapkannya.
b. Takut
harapannya itu hilang.
c. Berusaha
untuk mencapainya.
Raja’ yang tidak di barengi dengan tiga perkara itu
hanyalah illusi atau khayalan. Setiap orang yang berharap adalah juga adalah
orang yang takut (khauf). Orang yang berharap untuk sampai di suatu tempat
tepat waktunya, tentu ia takut terlambat. Karena takut terlambat, ia
mempercepat jalannya. Begitu pula, orang yang mengharap rida atau ampunan
Tuhan, ia akan merasa takut akan siksaan Tuhan.
Ahmad Faridh menegaskan bahwa khauf merupakan cambuk
yang digunakan Allah Swt, untuk mengiring hamba-hamba-Nya menuju ilmu dan amal,
supaya dengan keduanya itu, mereka dapat dekat dengan Allah Swt. Khauf adalah
kesakitan hati karena membayangkan sesuatu yang ditakuti, yang akan menimpa
diri pada masa yang akan datang. Khauf dapat mencegah hamba berbuat maksiat dan
mendorongnya untuk senantiasa berada dalam ketaatan.
Khauf dan Raja’ salin berhubungan, kekurangan khauf
akan menyebabkan seseorang lalai dan berani berbuat maksiat, sedangkan khauf
yang berlebihan akan menjadikannya putus asa dan pesimis.[13]
Begitu juga sebaliknya, terlalu besar sikap raja’ akan membuat orang sombong
dan meremehkan amalan-amalannya, karena optimisnya berlebihan.
5.
Syauq
( Rindu )
Selama masih ada cinta, syauq tetap diperlukan.[14]
Dalam lubuk jiwa, rasa rindu hidup dengan subur, yakni rindu ingin segera
bertemu dengan Tuhan. Ada yang mengatakan bahwa maut merupakan bukti cinta yang
benar. Lupa kepada Allah Swt, lebih berbahaya dari pada maut. Bagi sufi yang
rindu kepada Tuhan, kematian dapat berarti bertemu dengan Tuhan, sebab hidup
merintangi pertemuan ‘abid dengan Ma’bud-Nya.[15]
Menurut Al-Ghazali, kerinduan kepada Allah Swt dapat
dijelaskan melalui penjelasan tentang keberadaan cinta kepada-Nya. Pada saat
tidak ada, setiap yang dicintai pasti dirindukan orang yang mencintainya.
Begitu hadir dihadapannya, ia tidak dirindukan lagi. Kerinduan berarti menanti
sesuatu yang tidak ada. Bila sudah ada, tentunya ia tidak dinanti lagi.[16]
6.
Uns
(Suka Cita)
Dalam pandangan kaum sufi, sifat uns (intim) adalah
sifat merasa selalu berteman, tak pernah merasa sepi. Ungkapan berikut ini
melukiskan sifat uns.
“Ada orang yang merasa sepi dalam keramaian. Ia
adalah orang yang selalu memikirkan kekasihnya sebab sedang dimabuk cinta,
seperti halnya sepasang muda mudi. Ada pula orang yang merasa bising dalam
kesepian. Ia adalah orang yang selalu memikirkan atau merencanakan tugas
pekerjaannya semata-mata. Adapun engkau, selalu merasa berteman di manapun
berada. Alngkah mulianya engkau berteman dengan Allah Swt, artinya engkau
selalu berada dalam pemeliharaan Allah Swt.[17]
Ungkapan diatas melukiskan keakraban atau keintiman
seorang sufi dengan Tuhannya. Sikap keintiman ini banyak dialami oleh kaum
sufi.
7.
Thuma’ninah
Thuma’ninah adalah merasa tentram setelah bersama
dengan Tuhannya, kemudian merasakan ketergantungan terus-menerus dengan-Nya.[18]
8.
Musyahadah
Musyahadah adalah kehadiran yang berarti kedekatan
yang dibarengi dengan ilmu yakin dan hakikat-hakikatnya.[19]
9.
Yaqin
(Keyakinan Sejati)
Keyakinan sejati ini tidak lain adalah mukasyafah (tersingkapnya
apa yang gaib). Mukasyafah dibedakan menjadi tiga macam, yaitu :
a. Mukasyafah
ayan (tersingkapnya tutup mata) sehingga di hari kiamat nanti, ia melihat
dengan mata kepala.
b. Mukasyafatul
qulub (Tersingkapnya tutup hati) untuk memahami hakikat-hakikat keimanan secara
langsung dengan yakin yang tidak bisa dibayangkan cara memperolehnya dan tidak bisa
ditentukan.
c. Mukasyafatul
ayat (Tersingkapnya tanda-tanda kebesaran-Nya) dengan ditampakkannya kekuasaan
Allah Swt kepada para Nabi dengan mukjizat dan untuk selain para Nabi, dengan
karamah (kemuliaan) dan dikabulkannya doa.[20]
Keyakinan sejati merupakan kondisi spiritual yang
tinggi. Para pelakunya dibedakan menjadi tiga kondisi.
Pertama, kelas pemula. Mereka adalah para murid dan
orang-orang awam. Tingkatan ini, sebagaimana yang dikatakan oleh sebagian kaum
sufi, adalah percaya penuh dengan apa yang ada di ‘tangan’ Allah Swt dan
pesimis terhadap apa yang ada di tangan manusia.
Kedua, kelas menengah. Mereka adalah orang-orang
khusus. Sifat-sifat mereka adalah sebagaimana yang diungkapkan oleh Ibnu Atha’,
‘keyakinan sejati adalah kontinuitas berbagai macam rintangan di sepanjang
waktu’.
Ketiga, kelompok para pakar (para elit sufi). Mereka
adalah kelompok yang paling khusus. Sifat-sifatnya sebagaimana yang dikatakan
Amr bin Utsman Al-Makki, “keyakinan sejati secara global adalah menetapkan
keyakinan kepada Allah Swt dengan segala sifat-Nya.”[21]
D. Maqamat dalam Tasawuf
Terdapat perbedaan jumlah dan sistemtika maqamat
antara satu ulama dan ulama lainnya. Perbedaan ini timbul karena adanya
perbedaan pengalaman rohaniah masing-masing ulama sufi. Sayyid Hosein Nasr
menganalogikan perjalanan seorang sufi dengan mendaki gunung. Awal dan akhir
diketahui, tetapi jumlah dan perincian yang sesungguhnya dari tiap langkah yang
harus diambil serta cirri-ciri utama jalan yang ditempuh bergantung pada si
pendaki. Akan tetapi, tujuan dan perjalanan yang ditempuh adalah sama, yaitu
Tuhan.[22]
Sistematika maqamat yang biasa disebut dalam kitab
tasawuf adalah tobat, zuhud, sabar, tawakal, kerelaan, cinta, ma’rifat, fana’
dan baqa, serta persatuan, persatuan ini dapat mengambil bentuk al-hulul atau
wahdat al-wujud .[23]
1.
Tobat
Maqamat awalnya di awali dengan tobat.[24] Tobat
yang dimaksud oleh sufi adalah tobat yang sebenar-benarnya dan tidak akan
membawa pada dosa lagi. Terkadang, tobat tidak dapat dicapai dengan sekali
saja. Diceritakan bahwa seorang sufi melakukan tobat sampai tujuh puluh kali
baru ia mencapai tingkat tobat yang sebenarnya.[25]
Kebanyakan sufi menjadikan tobat sebagai perhentian
awal di jalan menuju Allah Swt. Pada tingkat terendah, tobat menyangkut dosa
yang dilakukan jasad atau anggota-anggota badan. Pada tingkat menengah, di
samping menyangkut dosa yang dilakukan jasad, tobat menyangkut pula pangkal
dosa-dosa, seperti dengki, sombong, dan riya. Pada tingkat yang lebih tinggi,
tobat menyangkut usaha menjauhkan bujukan setan dan menyadarkan jiwa akan rasa
bersalah. Pada tingkat terakhir, tobat berarti penyesalan atas kelengahan
pikiran dalam mengingat Allah Swt. Tobat pada tingkat ini adalah penolakan
terhadap segala sesuatu, selain yang dapat memalingkan dari jalan Allah Swt.[26]
2.
Zuhud
Pada maqam kedua ini, seorang sufi meninggalkan
dunia kematerian. Kebersihan dari dosa tidak cukup hanya dengan tobat,
melainkan juga dengan meninggalkan dunia materi dan kebutuhan jasmani. Setelah
bersih dari dosa, seorang zahid mulai melihat Tuhan bukan sebagai Tuhan yang
ditakuti siksa-Nya, tetapi sebagai Tuhan tempat mencari ketenteraman jiwa.[27]
Dilihat dari maksudnya, zuhud terbagi menjadi tiga
tingkatan. Pertama (terendah), menjauhkan dunia ini agar terhindar dari hukuman
di akhirat. Kedua, menjauhi dunia dengan menimbang imbalan di akhirat. Ketiga,
( tertinggi ), mengucilkan dunia bukan karena takut atau berharap, tetapi
karena cinta kepada Allah Swt semata. Orang yang berada pada tingkat tertinggi
ini akan memandang segala sesuatu, kecuali Allah Swt, tidak mempunyai arti
apa-apa.[28]
3.
Sabar
Sabar bukan hanya berarti patuh dalam menjalankan
perintah-perintah Allah Swt, dan menjauhi larangan-larangan Allah Swt, tetapi
juga sabar dalam menerima segala cobaan yang ditimpakan Tuhan kepadanya.[29]
Sabar, jika dipandang sebagai pengekangan tuntutan nafsu dan amarah,
dinamakan oleh Al-Ghazali sebagai kesabaran jiwa (ash-shabr an-nafs), sedangkan
menahan terhadap penyakit fisik disebut sebagai sabar badani (ash-shabr
al-badani). Kesabaran jiwa sangat dibutuhkan dalam berbagai aspek, misalnya
untuk menahan nafsu makan dan seks yang berlebihan.[30]
4.
Tawakal
Pada maqam ini,
seorang calon sufi menyerahkan diri sepenuhnya pada kehendak Allah Swt. Menurut
Ath-Thusi, tawakal terbagi kedalam tiga tingkatan, yaitu tawakal orang-orang
beriman, tawakal ahl al-khusus, dan tawakal khusus al-khusus. Tawakal umumnya
orang-orang yang beriman tiada lain adalah menggunakan badan dalam beribadah,
hati terpaut semata-mata kepada Allah swt, dan jiwa tenteram dengan apa yang
ada. Jika diberi, bersyukur dan jika ditolak, bersifat sabar, rela sesuai
dengan ketentuan Allah Swt. [31]
Tawakal ahl
al-khusus, seperti dijelaskan oleh Abu Al-Abbas ibn ‘Atha, adalah orang yang
tawakal kepada Allah swt karena sebab selain Allah swt belum dianggap
bertawakal kepada Allah swt hingga ia benar-benar tawakal kepada Allah swt,
dengan Allah dank arena Allah. Adapun tawakal khusus al-khusus, seperti yang
diungkapkan oleh Asy-Syibli adalah hendaklah engkau berada bersama Allah swt,
seakan-akan diterima sendiri tidak ada, dan hendaklah berada bersama dan tak
pernah lepas. [32]
Tawakal
merupakan gambaran keteguhan hati dalam menggantungkan diri hanya kepada Allah
swt. [33]
Al-Ghazali mengaitkan tawakal dengan tauhid, dengan penekanan bahwa tauhid
sangat berfungsi sebagai landasan tawakal.
Mengenai
pengertian at-tawakal ini, Dzun Nun mengartikan bahwa tawakal adalah berhenti
memikirkan diri sendiri dan merasa memiliki daya dan kekuatan. Intinya, penyerahan
diri sepenuhnya kepada Allah swt disertai perasaan tidak memiliki kekuatan.
Hilangnya daya dan kekuatan seolah-olah mengandung arti pasif bahwa at-tawakal
adalah kematian jiwa tatkala ia kehilangan peluang, baik menyangkut urusan
dunia maupun akhirat. Pernyataan ini sejalan pula dengan apa yang dikatakan
oleh sejumlah sufi bahwa barang siapa yang hendak melaksanakan tawakal dengan
sebenar-benarnya, hendaknya ia menggali kubur di situ, melupakan dunia dan
penghuninya. Artinya, tawakal mencerminkan penyerahan diri manusia kepada Allah
swt.[34]
5.
Rela
(Ridha)
Ath-Thusi menjelaskan bahwa ridha Allah swt adalah
pintu gerbang mendekat Allah swt. Dalam maqam ini, hati seorang hamba begitu
tenteram dalam penyerahan diri kepada ketentuan Allah swt.[35]
Ketika Al-Junaid ditanya tentang ridha, ia menjawab, ridha adalah menghapuskan pilihan.
Adapun Dzun Nun Al-Mishri menjelaskan bahwa ridha adalah kegembiraan hati
menerima ketentuan Allah swt yang pahit.[36]
Orang yang ridha mampu melihat hikmah dibalik cobaab
yang diberikan Allah swt dan tidak berburuk sangka terhadap ketentuan-Nya.
Bahkan, ia mampu melihat keagungan, kebesaran, dan kemaha sempurnaan dzat yang
memberikan cobaab kepadanya sehingga tidak mengeluh dan tidak merasakan sakit
atas cobaan tersebut. Hanya para ahli makrifat dan mahabbah yang mampu bersikap
seperti ini. Mereka bahkan merasakan musibah dan ujian sebagai suatu nikmat
lantaran jiwanya bertemu dengan yang dicintainya.[37]
Menurut Abdul Halim Mahmud, ridha mendorong manusia
untuk berusaha sekuat tenaga mencapai apa yang dicintai Allah swt dan
Rasul-Nya. Namun, sebelum mencapainya, ia harus menerima dan merelakan
akibatnya dengan cara apa pun yang disukai Allah swt.[38]
6.
Mahabbah
Maqam yang ke-enam yang dilalui oleh para sufi adalah mahabbah, pengertian yang diberikan
pada mahabbah, antara lain :
a. Mencintai,
kepatuhan kepada Tuhan dan membenci sikap melawan-Nya.
b. Menyerahkan
seluruh diri kepada yang di kasihi (Tuhan).
c. Mengosongkan
hari dari segala-galanya, kecuali dari diri yang dikasihi.[39]
Selanjutnya Ath-Thusi menjelaskan bahwa dalam
tingkatan mahabbah, seorang hamba dengan matanya memandang nikmat segala yang
telah dilimpahkan Allah Swt kepadanya, dan dengan kalbunya memandang suasana
dekat dengan Allah, maka jatuh cintalah sang hamba kepada-Nya.[40]
Lebih jauh, Ath-Thusi membagi mahabbah menjadi tiga
tingkatan, yaitu :
Pertama : mahabbah biasa muncul karena kebaikan
Allah swt kepada seorang hamba. Cinta atau mahabbah ini diperoleh seorang hamba
karena ketulusannya dalam merindukan sang kekasih sering dengan mengingat
asma-Nya secara terus-menerus. Sebab, siapa yang mencintai sesuatu, ia sering
menyebutnya.
Kedua : mahabbah shadiqin, yaitu yang membersit
karena pengenalan yang mendalam atas kebesaran Allah swt. Cinta yang bersemi
karena mata hatinya memandang kebesaran, ilmu, dan kekuasaan Allah swt. Cinta
yang dapat mengungkap tabir yang memisahkan dirinya dengan Tuhan dan mampu
menguak rahasia Tuhan yang tersembunyi.
Ketiga : mahabbah ‘arifin, yaitu cinta hamba-hamba
Allah yang mengenal-Nya dengan baik. Dalam cinta seperti ini, yang dilihat
bukan lagi cinta, melainkan diri yang dicintai. Akhirnya, sifat-sifat yang
dicintai masuk ke dalam diri yang mencintai.[41]
Sufi yang termasyhur dengan pengalaman spiritual
mahabbah ini adalah seorang wanita bernama Rabi’ah Al-Adawiyah (713-801).
Cintanya yang mendalam kepada Tuhan memalingkan dirinya dari cinta kepada yang
lain. Kerinduannya kepada sang kekasih begitu mendalam. Ia sangat khawatir
cintanya kepada Allah swt bertepuk sebelah tangan, tak terbalas.
7.
Makrifat
Setelah melalui mahabbah, perjalanan spiritual
seorang sufi sampai ke maqam makrifat. Akan tetapi, menurut Al-Ghazali, makrifat
datang lebih dulu dari pada mahabbah. Sebaliknya, Al-Kalabi menyebutkan bahwa
makrifat datang sesudah mahabbah. Ada pula yang berpendapat bahwa makrifat dan
mahabbah adalah kembar dua yang selalu disebut bersama. Keduanya menggambarkan
kedekatan hubungan seorang sufi dengan Tuhan. Mahabbah menggambarkan hubungan
dalam bentuk cinta, sedangkan makrifat menggambarkan hubungan dalam bentuk
pengetahuan dengan hati sanubari.[42]
Menurut Al-Qusyairi, ada tiga alat dalam tubuh
manusia yang dipergunakan sufi dalam berhubungan dengan Tuhan, yaitu qalb,
untuk mengetahui sifat-sifat Tuhan, ruh untuk mencintai Tuhan, dan sir untuk
melihat Tuhan. Sir bertempat dir uh dan ruh bertempat di qalb. Sir timbul dan
dapat menerima iluminasi dari Allah kalau qalb dan ruh telah suci
sesuci-sucinya. Ketika itulah, Tuhan menurunkan cahaya-Nya kepada sang sufi dan
yang dilihat oleh sufi itu pun hanya Allah swt. Di sini, ia sampai ke tingkat
makrifat.
Seorang sufi yang telah sampai ke tingkat makrifat
dapat melihat Tuhan dengan mata hati sanubarinya. Dengan sampainya ia ketingkat
ini, ia telah berada dekat dengan Tuhan. Semakin tinggi tingkatannya dalam
makrifat, semakin dekat ia dengan Tuhan sehingga ia bersatu dengan Tuhan, yang
disebut ittihad.[43]
Akan tetapi, sebelum seorang sufi sampai ketingkat
ittihad, terlebih dahulu ia harus meleburkan dirinya. Selama ia belum dapat
meleburkan dirinya, yaitu selama ia masih sadar akan dirinya, ia tidak akan
dapat bersatu dengan Tuhan. Peleburan diri ini dalam tasawuf disebut fana’, dan senantiasa diiringi ole
baqa, sesuatu dalam diri sufi akan fana’ atau hancur dan sesuatu yang lain akan
baqa atau tinggal. Yang akan hancur dalam diri sufi adalah kesadaran tentang
dirinya (al-fana’ an-nafs), sedangkan yang akan tinggal atau muncul adalah
kesadaran sufi tentang diri Tuhan.
Sufi yang pertama kali memperkenalkan paham fana’
dan baqa adalah Abu Yazid Al-Bustami (w. 874 M). Dengan fana’, Abu Yazid
meninggalkan dirinya dan berada dekat dengan Tuhan. Ketika sampai di ambang
pintu ittihad, dari mulutnya keluar ungkapan syatahat (ucapan teopatis) sebagai
berikut, “Aku tidak heran terhadap
cintaku kepada-Mu karena aku hanyalah hamba yang hina. Tetapi, aku heran
terhadap cinta-Mu kepadaku karena Engkau adalah Raja Mahakuasa.”
Akhirnya, Abu Yazid sampai ke tingkat ittihad,
sebagaimana ucapannya, “Tuhan berkata,
“Mereka semua, kecuali engkau adalah makhluk-Ku”. Aku pun berkata. “Aku adalah Engkau,
Engkau adalah Aku, dan Aku adalah Engkau,”.
Abu Yazid mengucapkan kata “aku” bukan lagi sebagai
gambaran diri Abu Yazid, melainkan sebagai gambaran Tuhan karena ia telah
bersatu dengan diri Tuhan.
Akan tetapi, pengalaman spiritual bersatu dengan
Tuhan bukan hanya dengan ittihad seperti yang di alami Abu Yazid. Ada pula
pengalaman spiritual lain, seperti al-hulul yang dialami oleh Al-Hallaj, atau
wahdat al-wujud yang dialami oleh Ibn Arabi.
E. Metode Irfani
Pada dasarnya, setiap manusia mempunyai potensi
untuk mencapai makrifat. Persoalannya adalah apakah ia telah memenuhi prasarana
atau persyaratan ? salah satu persyaratannya, antara lain adalah kesucian jiwa
dan hatinya.
Untuk memperoleh kearifan dan makrifat, hati (qalb)
mempunyai fungsi esensial, sebagaimana yang di ungkapkan Ibnu Arabi dalam
Fushus Al-Hikam-nya : “Qalb dalam
pandangan kaum sufi adalah tempat kedatangan kasyf dan ilham. Ia pun berfungsi
sebagai alat untuk makrifat dan menjadi cermin yang memantulkan (tajalli) makna-makna kegaiban.”[44]
Dalam dunia tasawuf, qalb merupakan pengetahuan
tentang hakikat-hakikat, termasuk di dalamnya adalah hakikat makrifat. Qalb
yang dapat memperoleh makrifat adalah hati yang telah tersucikan dari berbagai noda
atau akhlak buruk yang sering dilakukan manusia.[45]karena
qalb merupakan bagian jiwa, kesucian jiwa sangat mempengaruhi kecermelangan
qalb dalam menerima ilmu. Qalb yang telah tersucikan akan mampu menembus alam
malakut (misalnya alam malaikat). Al-Ghazali dalam Kimiya’ As-Sa’adah-nya
memasukkan qalb sebagai sesuatu yang sejenis dengan malaikat. [46]
Ketika berada di alam malakut inilah, qalb mampu memperoleh ilmu pengetahuan
dari Tuhan. Tampaknya, kaum sufi memandang kesucian qalb sebagai prasyarat
untuk berdialog secara batin dengan Tuhan. Mereka mengemukakan alasan bahwa
Tuhan hanya dapat di dekati dengan jiwa yang suci. Ilmu pengetahuan yang di
hasilkan dari kondisi biologis batiniah dengan perangkat gaib yang suci inilah
yang mereka sebut sebagai ilmu makrifat. Bahkan, secara spesifik dapat
memperoleh ilmu laduni, yakni ilmu yang datang melalui ilham yang dibisikkan ke
dalam hati manusia.
Dengan demikian, qalb berpotensi untuk berdialog
dengan Tuhan[47].
Inilah yang dimaksud Al-Ghazali dengan ungkapan bahwa di luar akal dan jiwa
terdapat alat yang dapat menyingkap pengetahuan yang gaib dan hal-hal yang akan
terjadi di masa mendatang.[48]
Penyingkapan pengetahuan seperti ini merupakan wacana ‘irfaniyah. Hanya dengan
sarana qalb itulah, ilmu makrifat dapat diperoleh manusia.
Dapat dipahami bahwa hati (qalb) menjadi sarana
untuk memperoleh makrifat. Qalb lah yang akan mampu mengetahui hakikat
pengetahuan karena qalb telah dibekali potensi untuk berdialog dengan Tuhan. Disamping
melalui tahapan-tahapan maqamat dan ahwal, untuk memperoleh makrifat, seseorang
harus melalui upaya-upaya tertentu, antara lain sebagai berikut.
1.
Riyadhah
Riyadhah, sering juga disebut sebagai
latihan-latihan mistik, adalah latihan kejiwaan melalui upaya membiasakan diri
agar tidak melakukan hal-hal yang mengotori jiwanya. Riyadhah dapat pula
berarti proses internalisasi kejiwaan dengan sifat-sifat terpuji dan melatih
diri agar terbiasa meninggalkan sifat-sifat buruk.[49]
Para sufi memasukkan riyadhah sebagai pelatihan
kejiwaan dalam upaya meninggalkan sifat-sifat buruk. Termasuk di dalamnya adalah
pendidikan akhlak dan pengobatan penyakit-penyakit hati. Para sufi memandang
bahwa ubtuk menghilangkan penyakit-penyakit itu, perlu dilakukan riyadhah.[50]
Riyadhah harus disertai dengan mujahadah. Mujahadah
yang dimaksudkan di sini adalah kesungguhan dalam perjuangan meninggalkan
sifat-sifat buruk yang sangat berat sehingga membutuhkan kesungguhan dalam
me-riyadhah-kannya. Perbedaan antara riyadhah dan mujahadah berjuang menekan
atau mengendalikan sengan sungguh-sungguh pada masing-masing tahapan riyadhah.
Meskipun demikian riyadhah tidak dapat dipisahkan dari mujahadah karena
keduanya ibarat dua sisi pada satu mata uang. Hal terpenting dalam riyadhah
adalah melatih jiwa untuk melepaskan ketergantungan terhadap kelezatan duniawi
yang fatamorgana, lalu menghubungkan diri dengan realitas rohani dan ilahi.
Riyadhah akan mengantarkan seseorang selalu berada di bawah bayangan Yang
Kudus.
2.
Tafakur
Tafakur penting dilakukan
oleh setiap jiwa yang menginginkan makrifat. Sebab, tatkala jiwa telah belajar
dan mengolah ilmu, lalu memikirkan (bertafakur) dan menganalisisnya, pintu
kegaiban akan dibukakan untuknya. Menurut Al-Ghazali, orang yang berfikir
dengan benar akan menjadi dzawi al-albab (ilmuwan) yang terbuka pintu kalbunya
sehingga akan mendapat ilham. Laduniyah, Al-Ghazali pun menjelaskan bahwa
tafakur merupakan salah satu cara untuk memperoleh ilmu laduni.[51]
Tafakur
berlangsung secara internal dengan pembelajaran dan dalam diri manusia melalui
aktivitas berfikir yang menggunakan perangkat batiniah (jiwa). Selanjutnya,
tafakur dilanjutkan dengan memotensikan nafs kulli (jiwa universal).
Seperti yang di
ungkapkan oleh Al-Ghazali :
“Nafs
kulli (jiwa universal) lebih besar dan lebih kuat hasilnya dan lebih besar
kemampuan perolehannya dalam proses pembelajaran.”
3.
Tazkiyat
An-Nafs
Tazkiyat an-nafs adalah proses penyucian jiwa
manusia. Proses penyucian jiwa dalam kerangka tasawuf ini dapat dilakukan
melalui tahapan takhalli dan tahalli. Tazkiyat an-nafs merupakan inti kegiatan
bertasawuf. Sahl bin Abdullah Ash-Shufi berpendapat bahwa siapa saja yang
pikirannya jernih, ia berada dalam keadaan kontemplatif. Kalangan sufi adalah
orang-orang yang senantiasa menyucikan hati dan jiwanya. Perwujudannya adalah
rasa butuh terhadap Tuhannya.
Ada lima hal yang menjadi penghalang jiwa dalam
menangkap hakikat, yaitu :
a. Jiwa
yang belum sempurna
b. Jiwa
yang dikotori perbuatan maksiat
c. Menuruti
keinginan badan
d. Penutup
yang menghalangi masuknya hakikat dalam jiwa (taqlid)
e. Tidak
dapat berpikir logis
Tazkiyat an-nafs dalam konsepsi tasawuf berdasar
pada asumsi bahwa manusia ibarat cermin, sedangkan ilmu ibarat gambar-gambar
objek materil.
Dengan demikian, kesucian jiwa adalah syarat
sementara jiwa yang kotor, misalnya dengan mengikuti hawa nafsu duniawi, akan
membuat manusia terhijab dari Allah Swt.
4.
Dzikrullah
Secara etimologi, zikir adalah mengingat, sedangkan
secara istilah, zikir adalah membasahi lidah dengan ucapan-ucapan pujian kepada
Allah Swt. Zikir merupakan metode lain yang paling utama untuk memperoleh ilmu
laduni.
Pentingnya zikir untuk mendapatkan ilmu makrifat
didasarkan atas argumentasi tentang peranan zikir bagi hati. Al-Ghazali dalam
Ihya’ menjelaskan bahwa hati manusia tak ubahnya seperti kolam yang kedalamnya
mengalir bermacam-macam air.
Dalam Al-Munqidza, Al-Ghazali menjelaskan bahwa
zikir kepada Allah Swt merupakan hiasan bagi kaum sufi. Syarat utama bagi orang
yang menempuh jalan Allah Swt adalah membersihkan hati secara menyeluruh dari
selain Allah Swt, sedangkan kuncinya adalah menenggelamkan hati secara
keseluruhan dengan zikir kepada Allah Swt.
Dalam pandang sufi, zikir akan membuka tabir alam
malakut, yakni dengan datangnya malaikat. Sudah menjadi kesepakatan umum bahwa
zikir merupakan kunci pembuka alam gaib, penarik kebaikan, penjinak waswas, dan
pembuka kewalian.[52]
Zikir juga bermanfaat untuk membersihkan hati. Al-Ghazali dalam Ihya-Nya
menjelaskan bahwa hati yang terang merupakan pintu gerbang zikir, sedangkan
zikir merupakan pintu gerbang yang kasyaf (terbukanya hijab). Kasyaf adalah
pintu gerbang kemenangan yang besar. Menurut Al-Ghazali, zikir juga berfungsi
untuk mendatangkan ilham. Pada saat itulah, malaikat akan memberikan ilham ke
dalam hati.[53]
[1]
M. Solihin, Ilmu Tasawuf, ( Bandung :
Pustaka Setia, 2008 ), hlm. 77.
[2] At-Thusi, op, cit, hlm. 113.
[3]
Ibid.
[4]
Ibid, hlm. 114.
[5]
Ibid.
[6]
Ibid, hlm. 116.
[7]
Ibid, hlm. 119.
[8]
Ibid.
[9]
Ibid, hlm. 120.
[10]
Ibid, hlm. 121.
[11] Al-Qur’an Surat Al-Baqarah, ayat 218.
[12] Faridh, Tazkiyat…, hlm. 171-173.
[13] Ibid, hlm. 179.
[14] Suhrawardi,
‘Awarif…, hlm. 191.
[15] Umarie,
Sistematika…, hlm. 85.
[16] Al-Ghazali,
Mendekati Allah dengan kecintaan, kerinduan, dan keridaan, terj. Rosihon Anwar
dan Asep Suhendar, Pustaka Setia, Bandung, 2004, hlm. 99.
[17] Umarie,
Ibid, hlm. 85.
[18]
Nata, op, cit, hlm. 94.
[19]
Ath-Thusi, op, cit, hlm. 142.
[20]
Ibid, hlm. 145.
[21]
Ibid, hlm. 146.
[22]
Nasr, op, cit, hlm. 88-89.
[23]
Nasution, op, cit, hlm. 63.
[24]
Nicholson, op, cit, hlm. 30.
[25]
Nasution, op, cit, hlm. 67.
[26]
Lihat Al-Ghazali, Ihya Ulum Ad-Din,
Jilid IV, hlm. 10-11.
[27]
Nasution, op, cit, hlm. 67.
[28]
Anwar, op, cit, hlm. 74.
[29]
Nasution, op, cit, hlm. 68.
[30]
Al-Ghazali, op, cit, hlm. 58-59.
[31]
Fakhri, op, cit, hlm. 9.
[32]
Al-Thusi, op, cit, hlm. 78-79.
[33]
Al-Ghazali, op, cit, hlm. 322.
[34]
Al-Ghazali, op, cit, hlm. 75.
[35]
Ath-Thusi, op, cit, hlm. 80.
[36] Ibid.
[37] Ahmad
Faridh, Tazkiyat An-Nufus, Trans,
Nabhani Idris, ( Bandung : Pustaka, 1989 ), hlm. 166.
[38]
Abi Nashr As-Siraj Ath-Thusi, Al-Luma’, ditahqiq oleh Abdul Halim Mahmud dan
Thaha Abd. Baqi Surur, ( Mesir : Dar Al-Kutub Al-Haditsah dan Maktabah Al-Mutsama
Baghdad, 1960 ), hlm. 278.
[39]
Nasution, op, cit, hlm. 70.
[40]
Ath-Thusi, op, cit, hlm. 86.
[41]
Ibid.
[42]
Nasution, op, cit, hlm. 75.
[43]
Ibid, hlm. 77-79.
[44]
Ibnu Arabi, Fushus Al-Hikam, Jilid II, ttp, t.t. hlm. 4.
[45] Al-Ghazali
menyebut penyucian qalb dengan tahrir al-qalb, yakni menyucikan qalb dari
akhlak buruk dan sifat-sifat bahimiyyah ( hewan berkaki empat )sehingga yang
menjadi pakaian qalb adalah sifat-sifat malaikat (Lihat Al-Ghazali, Kimiya’ As-Sa’dah,
hlm. 123 ).
[46]
Al-Ghazali, Ibid, hlm. 126.
[47]
Al-Ghazali, Ihya’, Jilid III, op, cit, hlm. 25 ; pemahaman bahwa yang bisa
berdialog dengan Tuhan adalah hati, bukan akal, juga bisa kita lihat pada
pendapat Ibnu Arabi ( Ibnu Arabi, loc, cit ).
[48]
Al-Ghazali, Al-Munqidz Min Adh-Dhalal, Kairo : Silsilah Ats-Tsaqafah
Al-Islamiyyah, 1961, hlm. 59.
[49] Al-Ghazali, Risalah Al-Ladunniyah, dalam
al-Qushur Al-Awali, Jilid I, Mesir : Makbatah Al-Jundi, 1970 ), hlm. 122.
[50]
Lihat Al-Ghazali, Ihya, Jilid III, op, cit, hlm. 47-395; Muhammad Jamaluddin Al-Qasimi Ad-Dimasyqi,
Mau’izahat Al-Mu’minin min Ihya Ulum Ad-Din, Singapura : Dar Ulum
Al-Islamiyyah, t.t, hlm. 188-301.
[51]
Al-Ghazali, Risalah Laduniyah, op, cit, hlm. 122.
[52]
Lihat Abd. Wahab Asy-Sya’roni. Anwar Al-Qudsiyyah fi Ma’rifati Qawa’id
Ash-Shifiyyah, ( Jakarta : Dinamika Berkah Utama. t, t, hlm. 28.
[53]
Al-Ghazali, Ihya’, Jilid III, hlm. 91. Lihat Pula : Anwar, op, cit, hlm. 77-83.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar