Kamis, 12 April 2018
FIQH (MUAMALAH)
A. Sewa - Menyewa ( Ijarah )
Sewa – Menyewa ( Mempersewakan ) yaitu aqad atas manfaat yang dimaksud lagi diketahui, dengan tukaran yang diketahui, menurut syarat – syarat yang akan datang.
Firman Allah Swt :
فَإِ نْ اَ رْ ضَعْنَ لَكُمْ فَا تُو هُنَّ اُ خُوْ رَ هُنَّ
“ Jika Perempuan menyusukan akan anak kamu, maka hendaklah kamu beri upah ( sewa ) mereka ”. ( At- Thalaq : 6 )
Sabda Rasulullah SAW :
اَنَّهُ صَلَّى ا للهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ا حْتَجَمَ وَاَ عْطَى الْحَجَّا مَ اَ جْرَ هُ
“ Sesungguhnya Rasulullah SAW telah pernah berbekam kepada seseorang dan beliau memberi upah tukang bekam itu. ( Riwayat Bukhari dan Muslim ).
Rukunnya :
1. Yang menyewa dan yang mempersewakan, syarat keduanya :
a. Berakal.
b. Dengan kehendak sendiri ( Bukan dipaksa ).
c. Keadaan keduanya tidak bersifat mubazir.
d. Balig ( sampai sedikitnya umur 15 Tahun ).
Syarat – syarat ini semuanya sama menjadi syarat penjual dan pembeli.
2. Sewa, disyaratkan keadaan sewa diketahui dalam beberapa hal :
a. Jenisnya.
b. Kadarnya.
c. Sifatnya.
3. Manfa’at. Syarat manfa’at :
a. Manfa’at yang berharga.
b. Keadaan manfa’at dapat diberikan oleh yang mempersewakan.
c. Diketahui kadarnya, dengan jangka waktu.
- Menyewa Pohon – pohon untuk Mengambil Buahnya
Setengah ulama berpendapat, bahwa manfa’at yang disewa itu hendaklah jangan sampai mengandung lenyapnya suatu yang berupa zat, hanya harus semata – mata manfa’at saja. Ulama yang berpendapat demikian tidak membolehkan menyewa pohon – pohonan untuk mengambil buahnya, begitu juga menyewa binatang untuk mengambil bulunya dan sebagainya.
Setengah ulama yang lain berpendapat, tidak ada halangan menyewa pohon – pohonan karena buahnya, berlaku seperti menyewa seorang perempuan untuk menyusukan anak. Sedang menyewa seorang perempuan untuk mengambil manfa’at susunya, terang boleh menurut ayat yang di atas, karena faedah yang di ambil dari Sesutu dengan tidak mengurangi pokoknya ( asalnya ) sama artinya dengan manfa’at.
- Upah Mengajar Qur’an dan Ilmu Pengetahuan
Setengah ulama membolehkan mengambil upah mengajar Qur’an dan Ilmu Pengetahuan yang bersangkutan dengan agama, sekadar hajat keperluan hidup, walaupun mengajar memang kewajiban mereka, karena mengajar itu memakai waktu yang harus mereka gunakan untuk perusahaan mereka yang lain.
Kata Muhammad Rasyid Ridha : “ Saya telah mendengar dari Syekh Muhammad Abduh, beliau mengatakan : “ Guru – guru yang mendapat gaji dari wakaf, hendaklah mereka ambil gaji itu, kalau mereka membutuhkan, dengan tidak disengaja sebagai upah. Dengan cara demikian mereka akan mendapat ganjaran juga dari Allah Swt.
- Batalnya Aqad Sewa – Menyewa
Sewa menyewa ada 2 cara :
1. Menyewa barang yang tertentu seperti : kuda ini, atau rumah ini, disini habis masa menyewa, dengan sebab matinya kuda, atau robohnya rumah, atau habis masa yang dijanjikan.
2. Menyewa barang yang dalam tanggungan seseorang, seperti : menyewa mobil yang tidak ditentukan mobil mana, maka rusaknya mobil yang dinaiki tidak membatalkan aqad sewa – menyewa, tetapi berlaku sampai habis masanya.
B. Pinjam – Meminjam ( ‘Ariyah )
‘Ariyah yaitu memberikan manfa’at sesuatu yang halal kepada yang lain untuk diambil manfa’atnya dengan tidak merusakkan zatnya, agar dapat dikembalikan zat barang itu.
Tiap – tiap yang mungkin diambil manfa’atnya dengan tidak merusakkan zat barang itu, boleh dipinjam atau dipinjamkan.
Firman Allah Swt :
وَتَعَا وَنُوْا عَلَى ا لْبِرِّ وَا لتَّقْوَى وَلاَتَعَاوَنُوْاْعَلَى اْلاِثْمِ وَاْلعُدْوَانِ
“ Bertolong – tolonglah kamu atas kebaikan dan taqwa kepada Allah Swt dan janganlah kamu bertolong – tolongan dalam berbuat dosa dan bermusuhan ”. ( Al – Maidah : 2 ).
Meminjamkan sesuatu berarti menolong yang meminjam.
Firman Allah Swt :
وَيَمْنَعُوْنَ اْلمَا عُوْنَ
“ Mereka enggan, meminjamkan barang – barang keperluan rumah tangga ”, ( Seperti : Jarum, Timba dan lain – lain keperluannya yang kecil – kecil ). ( Al – Ma’un : 7 ).
Dalam surat ini, telah diterangkan beberapa perkara yang tidak baik, di antaranya, hubungan bertengga yang tidak hendak pinjam – meminjam seperti yang tersebut.
Sabda Rasulullah SAW :
اَلْعَارِيَةُمُؤَدَّاةٌوَالزَّعِيْمُ غَارِمٌ
“ Pinjaman wajib dikembalikan, dan orang yang menjamin sesuatu harus membayar ”. ( Riwayat Abu Daud dan Tirmidzi ).
- Hukum Meminjamkan
Asal hukum meminjamkan sesuatu barang sunat, seperti : tolong – menolong yang lain, kadang – kadang menjadi wajib, seperti : meminjamkan kain kepada orang yang terpaksa dan meminjamkan pisau untuk menyembelih binatang yang hampir mati. Juga terkadang – kadang haram, kalau yang dipinjam itu, akan berguna untuk sesuatu yang haram. Qaidah : “ Jalan menuju sesuatu, hukumnya sama dengan hukum yang dituju ”.
- Rukun Meminjam :
1. Yang meminjam syaratnya :
a. Ahli ( berhak ) berbuat kebaikan sekehendaknya, anak kecil dan orang yang dipaksa tidak sah meminjamkan.
b. Manfa’at barang yang dipinjam dimiliki oleh yang meminjamkan, walau dengan jalan wakaf atau menyewa sekalipun, karena meminjam hanya bersangkut dengan manfa’at, bukan bersangkut dengan zat.
2. Yang meminjam, juga hendaklah dia eorang yang ahli ( berhak ) menerima kebaikan terkecuali anak kecil atau gila, tidak sah meminjam sesuatu, karena ia tidak ahli ( tidak berhak ) menerima kebaikan.
3. Barang yang dipinjam, syaratnya :
a. Barang yang tentu ada manfa’atnya.
b. Sewaktu di ambil manfa’atnya zatnya tetap ( tidak rusak ), oleh karena itu makanan dengan sifat makanan untuk di makan tidak sah dipinjamkan.
4. Lafaz, kata setengah orang sah dengan tidak berlafaz.
- Mengambil Manfa’at Barang yang dipinjam
Yang meminjam boleh mengambil manfa’at dari barang yang dipinjamnya, hanya sekedar menurut izin dari yang punya, atau kurang dari yang di izinkan
- Hilangnya Barang yang dipinjam
Kalau barang yang dipinjam hilang atau rusak dengan sebab pemakaian yang di izinkan, yang meminjam tidak mengganti, karena pinjam meminjam itu berarti percaya mempercayai, tetapi kalau dengan sebab lain dia wajib mengganti.
Menurut pendapat yang lebih kuat, kerusakan yang hanya sedikit disebabkan karena dipakai yang dengan izin tidaklah patut diganti, karena terjadinya sebab pemakaian yang di izinkan. ( Qaidah : Ridha kepada sesuatu berarti Ridha pula kepada akibatnya ).
- Mengembalikan yang dipinjam
Kalau mengembalikan barang yang dipinjam tadi berhajat kepada ongkos, maka ongkos itu hendaklah dipikul oleh yang meminjam.
Sabda Rasulullah SAW :
عَنْ سَمُرَةُ قَ لَ النَّبِىَّ صَلَّى ا للهُ علَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى اْليَدِ مَااَخَذَتْ حَتَّى يُؤَدِّيَهُ
Dari Samurah, telah berkata Nabi besar SAW : “ Tanggung Jawab barang yang di ambil atas yang mengambil sampai dikembalikannya barang itu ”. ( Riwayat 5 Orang ahli Hadits selain dari Nasai ).
Ringkasnya, kedua boleh memutuskan aqad asal tidak merugikan kepada salah seorang di antara keduanya. Kalau berselisih antara yang meminjamkan dengan yang meminjam ( Kata yang pertama barang belum dikembalikan sedang yang kedua mengaku sudah dikembalikannya ) hendaklah dibenarkan yang meminjamkan dengan sumpahnya, karena yang asal belum kembali.
Sesudah yang meminjam mengetahui, bahwa yang meminjamkan sudah memutuskan aqad, dia tidak boleh memakai barang yang dipinjamnya.
C. UTANG PIUTANG ( AL – QARDH )
Utang Piutang yaitu memberikan sesuatu kepada seorang, dengan perjanjian dia akan membayar dengan yang sama dengan itu ( semisalnya ) seperti : mengutang uang Rp. 2.000,- akan dibayar Rp. 2.000,- pula.
Firman Allah Swt :
وَتَعَاوَنُوْاْعَلَى الْبِرِّوَالتَّقْوَى وَلاَ تَعَا وَنُوْاعَلَى الاِثْمِ وَاْلعُدْوَانِ
“ Hendaklah kamu bertolong – tolongan atas kebaikan dan taqwa kepada Allah Swt dan jangan kamu bertolong – tolongan atas dosa dan permusuhan ”. ( Al – Maidah : 2 ).
Mempiutangkan sesuatu kepada seorang telah berarti menolongnya.
Sabda Rasulullah SAW :
عَنِ ابْنِ مَسْعُوْدٍاَنَّ النَّبِىَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَلَ ؛ مَامِنْ مُسْلِمٍ يُقْرِضُ مُسْلِمًا قَرْضًا مَرَّ تَيْنِ اِلاَّكَا نَ
كَصَدَقَتِهَا مَرَّةً
“ Dari Ibnu Mas’ud, sesungguhnya Nabi besar SAW telah berkata : “ Seorang Muslim yang mempiutangi seorang Muslim 2x, seolah – olah ia telah bersedekah kepadanya 1x ”. ( Riwayat Ibnu Majah ).
Sabda Rasulullah SAW :
وَاللهُ فِى عَوْنِ الْعَبْدِمَادَامَ اْلعَبْدُفِىْ عَوْنِ اَخِيْهِ
“ Allah Swt, akan menolong hamba-Nya selama hamba-Nya itu, menolong saudaranya ”. ( Riwayat Muslim ).
- Hukum Memberi Utang
Hukumnya Sunat, malahan dapat menjadi wajib, seperti mengutangi orang yang terlantar atau yang sangat berhajat.
Rukunnya :
1. Lafaz ( kalimat mengutangi ), seperti katanya. “saya utangkan ini kepada engkau ” Jawab yang berutang : “ Saya mengaku berutang kepada engkau ”.
2. Yang berpiutang dan yang berutang.
3. Barang yang diutangkan, tiap – tiap barang yang dapat dihinggakan boleh diutangkan.
Begitu pula mengutangkan hewan maka di bayar dengan jenis hewan yang sama.
- Menambah Bayaran
Melebihkan bayaran dari sebanyak utang, kalau kelebihan itu memang kemauan dari yang berutang dan tidak atas perjanjian sebelumnya, maka kelebihan itu boleh ( halal ) bagi yang mengambilnya, dan menjadi kebaikan untuk orang yang membayar utang.
Sabda Rasulullah SAW :
فَاِنَّ مِنْ خَيْرِكُمْ اَحْسَنَكُمْ قَضَاءً
“ Maka sesungguhnya sebaik baik kamu, ialah yang sebaik – baiknya pada waktu membayar utang ”. sepakat ahli hadits.
Adapun tambahan yang dikehendaki oleh yang berpiutang atau telah menjadi perjanjian sewaktu aqad tidak boleh, tambahan itu tidak halal atas yang berpiutang mengambilnya. Umpamanya yang berpiutang berkata kepada yang berutang : “ Saya utangi engkau dengan syarat sewaktu membayar engkau tambah sekian ”.
Sabda Rasulullah SAW :
كُلُّ قَرْضٍ جَرَّمَنْفَعَةً فَهُوَوَجْهٌ مِنْ وُجُوْهِ الرِّبَوا
“ Tiap – tiap piutang yang mengambil manfa’at, maka ia semacam dari beberapa macam riba ” Riwayat Baihaqi”.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar